Kasus Mario Dandy dan Realita 'Anak Polah Bapa Kepradah'

Hernawan | Arif Yudistira
Kasus Mario Dandy dan Realita 'Anak Polah Bapa Kepradah'
Ilustrasi Mario Dandy Satriyo. [Suara.com/Iqbal]

Emha dalam bukunya "Sedang Tuhan Pun Cemburu" (1984) menulis satu fenomena yang persis seperti hari ini. Perubahan tata budaya, pergeseran dan perubahan masyarakat sampai pada polah dan tingkah remaja kita yang terlanjur gede. Kalau bahasa sekarang ABG (Anak Baru Gede). 

Emha menyoroti fenomena dan perubahan masyarakat tersebut. Emha mengatakan bahwa perubahan anak zaman yang kebablasan itu tetaplah tidak bisa dilepaskan dari polah tingkah orangtuanya. 

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya kalau kata pepatah. Betapa polah tingkah anaknya tidak bisa dilepaskan dari orangtuanya. 

BACA JUGA: CEK FAKTA: Amanda Manopo Positif Hamil, Hasil USG Tampilkan Anak Laki-laki, Benarkah?

Kasus anak eks pegawai dirjen pajak yang menganiaya anak ketua GP Ansor ramai mendapat sorotan. Bahkan Kiai Said Agil Sirod pun memberi komentar bahwa kasus ini perlu diselidiki pendidikan macam apa yang mengakibatkan anak menganiaya orang demikian kejamnya. 

Respons ini tidak jauh beda dengaj respon Mahfud MD yang menyatakan, "Perlu diselidiki ini bapaknya, apa yang diajarkan kepada anaknya. Kok bisa setega itu hampir membunuh anak manusia."

Memanjakan Anak

Kehidupan keluarga Mario Dandy siapa yang tahu. Besar kemungkinan, orangtua Mario Dandy akhirnya memanen buah atau cara mendidik anaknya. Anak remaja belum bisa dilepas begitu saja. Kondisinya mirip dengan apa yang ditulis oleh Romo Mangun Wijaya (1978) dalam bukunya "Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak". Pada buku itu Romo Mangun mengatakan bahwa: "Anak dalam banyak hal jauh belum dewasa. Tetapi dalam banyak hal pula ia sangat dewasa."

Apa yang dilakukan Rafael, orangtua Mario memanjakan anaknya adalah tindakan yang salah. Tindakannya bukan cuma merusak jiwa anak, tetapi membunuh mentalitasnya secara perlahan.

Remaja bukan hanya butuh fasilitas yang empuk. Namun, ia memerlukan bimbingan. Perlu merasakan kerasnya hidup. Getirnya perjuangan. Tanpa itu, mentalitas remaja hanya akan lembek dan menganggap bahwa dunia ini adalah surga. Ia tidak pernah menghadapi dunia yang keras, sandungan atau kerikil. 

Ketika si remaja ini menghadapi masalah, maka sikap arogan, kekerasan dan juga sikap menang sendiri itulah yang dikedepankan. Ini timbul karena Si Remaja jarang menemui masalah. Dunianya selalu mulus saja, sehingga menganggap apa yang diperbuat sekehendak hatinya adalah benar.

Publik tentu dibuat geram saat melihat ekspresi Mario yang sombong sekaligus songong. Tanpa mimik penyesalan, kepala mendongak menunjukkan bahwa ia seolah merasa bahwa yang diperbuatnya adalah benar. 

Gaya hedonisme yang ditunjukkan Mario naik moge dan pamer Rubicon yang ternyata platnya palsu menunjukkan bahwa apa yang diperbuatnya selama ini juga didukung oleh sikap keluarganya yang memanjakan anaknya.

Prihatin

Kita layak prihatin saat melihat fenomena kekerasan sudah demikian parahnya. Hampir tiap hari peristiwa pembunuhan kini bergeser aktor. Bila dulu pelakunya orangtua atau dewasa, kini pelaku mulai remaja dan bahkan anak-anak. 

BACA JUGA: Realitas Wanita di Era Generasi Z: Mengubah Paradigma Perempuan

Peristiwa ini seperti alarm bagi orangtua hari ini. Betapa dunia yang kita diami kini tidak baik-baik saja. Bila orangtua tidak hati-hati, tentu anak bisa meniru, bahkan mengadopsi gaya kekerasan yang kini tampil di layar tv, gadget atau internet. 

Sebagai orangtua tentu kita diingatkan untuk merenung, serta terus mendidik dan memberi teladan anak kita. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak