Ki Hadjar Dewantara lahir 2 Mei 1889, di Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Ia memiliki nama kecil Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Tumbuh dan hidup di lingkungan keraton membuatnya mendapatkan 'priviledge' yang cukup ketimbang kehidupan masyarakat lainnya. Selain mendapatkan pendidikan dari keraton, Soewardi juga mendapatkan akses pendidikan ke sekolah kolonial waktu itu.
Di keraton, erat dan lekat dengan nilai-nilai pendidikan Jawa yang identik dengan kebudayaan feodal dan budaya Jawa. Di tempa nilai-nilai kebudayaan Jawa, Soewardi tumbuh menjadi manusia yang mengenali wayang, tarian, dan juga tembang yang akrab di telinga Soewardi di kala kecil.
Apa yang dia dapat di masa kecil ini kelak akan memberi pengaruh besar saat ia mendirikan perguruan Taman Siswa yang menghasilkan metode didaktik “sariswara”. Metode ini memadukan antara tembang atau nyanyian dengan pelajaran sehingga bakal awet dan lekat dan membekas di hati dan jiwa anak-anak.
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditempuh dari ELS (tingkat dasar) hingga sekolah guru (kweekschool) dan melanjutkan di sekolah kedokteran di STOVIA namun tidak selesai karena kesehatannya memburuk (Astuti, K., dan Arif, M. (2021). Ia bekerja sebagai insan pers atau jurnalis di surat kabar surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Insan Politik
Sudah sejak masa kecilnya, kepekaan Ki Hadjar dilatih untuk peduli kepada kaum kromo (rakyat). Ki Hadjar boleh dibilang kurang tertarik dengan perebutan tahta kerajaan, walaupun dia seorang anak dari G.P.H. Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III. Soewardi sadar, jalan hidupnya seolah justru keluar dari lingkungan kerajaan.
Soewardi muda sudah aktif dan berjejaring dengan insan pergerakan. Ia bergabung dengan Budi Utomo. Bersama tiga serangkai yakni Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat mendirikan partai Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda pada 25 Desember 1912.
Tujuan dari Indistje Partij adalah tujuan untuk membangun patriotisme terhadap tanah air Indonesia yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka. Mereka bekerja sama atas dasar persamaan kebangsaan untuk memajukan tanah air Indonesia dan mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka (Detik, 2023).
Bersama partai ini Soewardi memperjuangkan kesamaan nasib dan patriotisme Indonesia serta memperjuangkan kemerdekaan yang waktu itu dinilai cukup berbahaya. Soewardi di usia 23 tahun sudah menjadi politisi muda yang gigih memperjuangkan bangsa.
Tepat satu tahun setelah mendirikan Indistje Partij, Soewardi Soerjaningrat bersama Doewes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo mendirikan Komite Bumiputera. Komite ini didirikan dalam rangka kritik terhadap pemerintah Belanda yang menggunakan dana dan sumber daya Indonesia untuk perayaan kemerdekaan Belanda.
Tahun 1913 menjadi tahun penting dalam catatan perjuangan Soewardi Soerjaningrat. Karena tulisannya yang menggemparkan dunia kolonialisme kala itu. Tulisannya bertajuk “Seandainya Aku Seorang Belanda” membuat Belanda naik pitam. Akibat tulisan Soewardi ini, Tjipto diasingkan ke Banda, Soewardi diasingkan ke Bangka, dan Douwes Dekker diasingkan ke Timor. Atas permintaan mereka, Tiga Serangkai akhirnya diasingkan ke negeri Belanda. Tiga serangkai ini dianggap memboikot perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan menghasut rakyat.
Sebagai insan politik, Ki Hadjar sadar betul waktu itu bahwa jalan politiknya ditempuh dengan matang. Ia tidak menggerakkan massa untuk melakukan perlawanan seperti perang, pemogokan dan lain-lain.
Pengaruh dan latar belakangnya sebagai insan pers sepertinya cukup kuat dalam dirinya. Ia sadar kekuatan pena lebih menusuk dan menohok jantung kolonialisme ketimbang perang yang justru berdampak jangka pendek dan mudah dikalahkan.
Ki Hadjar menekankan persatuan, serta menyadarkan masyarakat Hindia Belanda kala itu atas perihnya penjajahan. Tulisan Ki Hadjar pun berdampak dan menyadarkan para aktivis di Belanda akan nasib Indonesia kala itu.
Pengeraman Pemikiran
Setelah dibuang dan diasingkan ke negeri Belanda, perjuangan Ki Hadjar terus berlanjut. Ki Hadjar melanjutkan belajar tentang ilmu pendidikan. Ia belajar dari tokoh Montessori dan Frobel. Ia sempat memperoleh ijazah bergengsi Europeesche Akta di negeri Belanda.
Enam tahun berjuang dan bertahan dengan menulis dan korespondensi dengan insan nasional (1913-1919). Kisah Ki Hadjar di pengasingan ini bisa ditilik lebih lanjut di buku Soewardi Soerjaningrat : dalam pengasingan (2019) yang ditulis Irna H.N. Hadi Soewito.
Bekal pendidikan dan juga refleksi atas pengalaman melihat dunia pendidikan di Belanda itu memberi pengaruh besar saat ia kembali ke tanah air dan mendirikan perguruan Taman Siswa (1922).
Berjuang di Taman Siswa
Setelah Taman Siswa berdiri, Ki Hadjar Dewantara fokus dan berjuang bersama insan Taman Siswa yang menjadi cikal bakal perguruan nasional kelak. Di Taman Siswa itulah, pemikiran Soewardi Soerjaningrat mendapatkan tempat seperti asas kemerdekaan, kebudayaan dan kemandirian.
Perjuangan Ki Hadjar dan Taman Siswa teru berlanjut. Saat Ki Hadjar fokus pada pendidikan rakyat pun, Belanda seperti tidak mau menyerah untuk menghancurkan perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa dianggap sebagai sekolah liar yang perlu dikontrol dan diawasi. Di tahun 1932, ordonansi sekolah liar dari kolonial itu pun mendapat jawaban dari Ki Hadjar dan Taman Siswa dengan perlawanan tanpa kekerasan.
6 November 1932, mengirim telegram kepada pemerintah Belanda, “Bolehlah saja memperingatkan, bahwa waloepoen machloek jang ta’ berdaja mempoenjai rasa asali berwadjib menangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja…”. Meskipun sudah dilarang, Taman Siswa akhirnya berhasil mendirikan 166 sekolah dengan 111.000 murid dalam catatan Francis Gouda kala itu (Historia,2013).
Perjuangan Ki Hadjar Dewantara bersama Taman Siswa dengan konsep pendidikan anti kolonial dan juga metode didaktik berkebudayaan telah menancapkan sejarah tersendiri bagi pendidikan nasional kita. Semboyan pendidikan kita, Ing Ngarso Sung Tuladha Ing Madya Mangunkarsa, Tutwuri Handayani adalah warisan dari percik pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa adalah dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di tengah tengah perubahan kurikulum dari berbagai rezim, kita masih bisa menengok kembali dan belajar dari warisan agungnya, Taman Siswa. Taman Siswa dengan konsep didakdiknya, dengan system amongnya, sistem kebudayaan dan kekeluargaannya, menjadi warisan berharga yang layak kita teruskan cita-citanya. Perjuangan Ki Hadjar bergeser dari dunia politik ke pendidikan. Di dunia pendidikan inilah, Ki Hadjar mengabdikan hidupnya hingga akhir hayat.