Sebagai seseorang yang sering mengamati isu-isu gender, kerap kali kita merasa miris dikarenakan banyaknya terjadi kasus kekerasan seksual yang justru semakin meningkat. Salah satu kekerasan seksual yang banyak terjadi adalah Marital Rape atau pemerkosaan dalam perkawinan. Contohnya saja publik baru-baru ini digegerkan akibat artis terkenal yaitu Venna Melinda yang mengalami KDRT, namun ternyata sebelum kejadian KDRT, Venna Melinda sempat mengungkapkan bahwa suaminya sangat aktif dalam masalah seksual sering memaksa bahkan, suaminya itu bisa sampai marah atau ngamuk ketika Venna Melinda enggan melayaninya. Kalian pasti bertanya-tanya apa sih Marital Rape itu dan bagaimana hukum memandangnya? Jika penasaran simak penjelasan-penjelasan di bawah ini!
Marital Rape atau pemerkosaan dalam perkawinan adalah peristiwa di mana seorang suami memaksa istrinya untuk melakukan hubungan seksual hingga menyebabkan luka fisik ataupun psikis pasangannya tersebut, ataupun sebaliknya (istri memaksa kepada suami). Dilansir dari Psych Central, ada empat jenis pemerkosaan dalam pernikahan yang harus kalian ketahui dan dihindari:
- Berhubungan seksual secara terpaksa;
- Berhubungan seksual karena manipulasi;
- Berhubungan seksual secara tidak sadar;
- Berhubungan seksual karena terancam.
Sedangkan jika ditinjau dari kacamata hukum, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021. Kasus perkosaan mendominasi. Tercatat, jumlah kasus perkosaan terhadap perempuan mencapai 597 kasus atau 25% dari total kasus. Kasus pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) menempati posisi kedua dengan jumlah mencapai 591 kasus.
BACA JUGA: International Women's Day dan Perayaan Kepopuleran Sepak Bola Wanita
Besarnya angka marital rape di Indonesia pada tahun 2021 bahkan menempati posisi kedua terbesar setelah perkosaan pada perempuan, lalu bagaimana hukum di Indonesia mengaturnya? Undang-Undang Penghapusan Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebenarnya sudah mengatur mengenai Marital Rape sebagai berikut.
- Pasal 5 huruf c yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual; atau
- penelantaran rumah tangga.”
- Pasal 8 huruf a yang berbunyi “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.“
- Pasal 46 yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
- Pasal 53 yang berbunyi “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.”
Bisa kita simpulkan bahwa UU PKDRT sudah memuat segalanya yang berkaitan dengan marital rape yang kemudian diperkuat kembali ketika kemudian UU TPKS disahkan, namun yang menjadi masalah kemudian adalah masih banyak ketidakpahaman mengenai marital rape dikarenakan budaya dan kultur di Indonesia serta banyak masyarakat yang masih berpikir bahwa marital rape sah-sah saja dilakukan. Mungkin itu saja sedikit pembahasan mengenai marital rape yang masih awam diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS