Perlukah Perubahan Sistem Pemilu?

Hernawan | Muhammad Faturrahman
Perlukah Perubahan Sistem Pemilu?
Ilustrasi pemilu. (Suara.com/Ema Rohimah)

Pemilihan umum (pemilu) adalah salah satu proses demokrasi yang penting dalam sebuah negara. Di Indonesia sendiri, pemilu pertama kali dilakukan pada tahun 1955 dengan tujuan untuk memilih anggota DPR. Setelah penyelenggaraan pemilu tahun 1977, pemilu secara rutin dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali untuk memilih wakil rakyat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ada dua sistem pemilu yang digunakan di Indonesia, yaitu sistem proporsional terbuka dan tertutup.
 
Sistem proporsional terbuka ialah sistem yang memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih partai politik dan kandidat secara langsung. Jumlah perolehan kursi partai politik ditentukan berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Kandidat yang terpilih akan ditentukan berdasarkan peringkat suara yang diperolehnya di dalam partai politik. Artinya, kandidat dengan suara terbanyak akan mendapatkan kursi terlebih dahulu.
 
Sedangkan sistem proporsional tertutup ialah sistem yang memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih partai politik saja. Dalam sistem ini, partai politik akan menentukan kandidat yang akan mendapatkan kursi berdasarkan peringkat suara yang diperoleh partai politik tersebut. Artinya, kandidat yang terpilih tidak ditentukan oleh pemilih, melainkan oleh partai politik.
 
Sistem proporsional terbuka memiliki kelebihan yaitu memungkinkan pemilih untuk memilih kandidat yang dianggap paling baik dari partai politik tertentu. Selain itu, sistem ini juga memungkinkan kandidat independen untuk ikut serta dalam pemilu. Namun, sistem ini juga memiliki kelemahan yaitu memungkinkan terjadinya politik uang dan politik identitas.
 
Sedangkan sistem proporsional tertutup memiliki kelebihan yaitu meminimalisir terjadinya politik uang dan politik identitas. Selain itu, sistem ini juga memungkinkan partai politik untuk memilih kandidat yang dianggap paling baik untuk mewakili partai politik tersebut. Namun, kelemahan dari sistem ini yaitu tidak memungkinkan pemilih untuk memilih kandidat secara langsung.
 
Adanya permohonan pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan nomor registrasi 114/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh sejumlah pihak termasuk beberapa partai politik memohon agar membatalkan beberapa pasal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 serta memohon agar pemilihan umum DPR dan DPRD dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
 
Para pemohon menyebutkan bahwa sistem proporsional terbuka yang dijalankan saat ini menimbulkan berbagai permasalahan. Dalam pelaksanaannya berdampak terhadap pemborosan terhadap anggaran negara, menimbulkan money politics, rentan terhadap tindak pidana korupsi, kerumitan dalam penyelenggaraan pemilu, pelemahan terhadap kelembagaan partai politik, serta berbagai permasalahan multidimensi lainnya. Pemohon juga menyebutkan bahwa kehendak dari Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 agar pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional tertutup.
 
Urgensi
 
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini akan sangat penting dalam menentukan arah demokrasi di Indonesia. Jika memutuskan untuk membatalkan Pasal 245 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka akan ada beberapa penyesuaian terhadap pelaksanaan pemilu kedepannya seperti partai politik akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengajukan calon tunggal dalam pilkada tanpa harus memenuhi persyaratan kursi atau persentase suara tertentu. Hal ini akan memberikan ruang yang lebih besar bagi partai politik untuk bersaing secara adil dalam pemilihan kepala daerah.
 
Namun, jika memutuskan untuk mempertahankan Pasal 245 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka pembatasan tersebut akan tetap berlaku dan partai politik harus memenuhi persyaratan kursi atau persentase suara tertentu untuk dapat mengajukan calon tunggal dalam pilkada. Hal ini akan membatasi kesempatan partai politik yang jumlah kursinya masih sedikit untuk berpartisipasi dalam pilkada.
 
Sistem proporsional terbuka mulai diterapkan pasca Pemilu Tahun 1999 hingga saat ini. Sedangkan Sistem proporsional tertutup sendiri bukanlah hal baru dalam sistem pemilu DPR dan DPRD di Indonesia. Sistem ini pernah diterapkan pada Pemilu Tahun 1955, Pemilu pada masa Orde Baru, dan terakhir pada Pemilu Tahun 1999.
 
Jika dilihat dengan konteks demokrasi, keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini akan memiliki implikasi yang luas bagi pemilu di Indonesia. Apalagi dengan jadwal dimulainya tahapan Pemilu Tahun 2024 yang sudah sangat dekat. Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan dengan matang argumen dari kedua belah pihak, serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat dalam menentukan putusan akhir. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi harus memastikan bahwa putusannya akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
 
Pemilihan sistem pemilu yang tepat akan sangat berpengaruh pada kualitas wakil rakyat yang terpilih. Oleh karena itu, mempertimbangkan untuk menggunakan sistem pemilu dengan melakukan penggabungan antara keduanya serta penyesuaian terhadap beberapa aspek yang menjadi kelemahan, maka bisa saja menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.
 
Meski begitu, sistem pemilihan umum adalah open legal policy, dimana substansinya merupakan salah satu bagian dari desain pemilihan umum yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan konsep trias politica, penyelenggaraan ketatanegaraan bersifat dinamis yang berkaitan erat dengan isu-isu pemilihan umum lainnya. Namun pemerintah sebagai pembentuk undang-undang harus tetap memperhatikan dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan agar pelaksanaan pemilu secara demokrasi Pancasila dapat terlaksana dengan efektif dan efisien.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak