Cogito ergo sum, merupakan ungkapan latin yang diungkapkan oleh Rene Descartes, filsuf ternama kebangsaan Prancis. Artinya adalah aku berpikir, maka aku ada. Maksudnya kalimat ini menyatakan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan diri sendiri. Ungkapan tersebut terdengar sederhana namun memiliki makna yang dalam. Jika segala sesuatu dapat diragukan secara radikal, berarti terdapat satu hal yang harus diyakini keberadaannya.
Pernyataan tersebut semakin berkembang luas, seiring dengan berkembangnya teknologi dan kehidupan sosial yang serba instan. Kehidupan masyarakat modern yang dikit-dikit buka ponsel kemudian update dan memamerkannya kepada dunia luas melalui platform media sosial agar merasa bahwa dirinya ada. Mari sekarang kita alihkan konteksnya menjadi "Aku Update, Maka Aku Ada".
Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif, gila belanja, gila travelling, gila nongkrong di tempat-tempat mewah, hanya agar bisa menunjukkan eksistensinya bahwa mereka itu "Ada". Konsumsi seperti yang dipaparkan penulis bukan lagi hanya sekedar kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau fungsional manusia, namun lebih condong pada hasrat pribadi agar mereka merasa "Ada".
Sistem masyarakat pun berubah drastis, di mana sistem perilaku bahkan kebijakan dan aturan sosial masyarakat pun lebih ditentukan pada sebuah trend di media sosial. Selanjutnya muncul istilah baru yaitu, "Fomo" (Fear of Missing Out) yang berarti takut ketinggalan dengan trend-trend yang sedang hangat.
Ketinggalan mode adalah sesuatu hal yang sangat ditakutkan oleh masyarakat "Kekinian", bila tidak mengikuti mode yang ngetrend sekarang, mereka merasa bagai tidak hidup di dunia. Ya, tinggal di dunia, namun mereka gusar karena merasa keberadaannya tidak ada karena tidak bisa mengikuti trend.
Fenomena masyarakat konsumtif yang gila update melanda sebagian besar wilayah dunia, termasuk Indonesia yang memang dari dulu terkenal konsumtif, utamanya pada masyarakat perkotaan. Fenomena yang menonjol pada masyarakat kini, tak lain disebabkan dengan kemajuan teknologi yang serba mudah dan berkembangnya gaya hidup yang mengikuti trend media sosial.
Berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan konsumtif berlebihan, semakin beragam pada masyarakat perkotaan, dan tak mengenal miskin atau kaya, semuanya ingin menunjukkan eksistensi diri mereka bahwa mereka "Ada", dan terkadang dengan cara-cara yang tidak rasional hanya demi sensasi belaka.
Terutama pada kota-kota besar, nge-mall, clubbing, karaoke, fitnes, nge-wine, hang out di cafe. Semua contoh kecil di atas adalah aktivitas hasil perwujudan dari hingar bingar konsumtif. Fenomena tersebut dapat diibaratkan seperti terus-menerus disinari oleh cahaya hingar bingar kehidupan, sehingga lupa dan tak mampu melihat sesuatu pada sudut pandang yang lain, contohnya bersudut pandang pada hal-hal yang bersifat esensial, seperti menyombongkan diri itu sama dengan angkuh, bersikap konsumtif secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan sama dengan perilaku destruktif, atau terlalu mengikuti hal-hal yang jelas tidak bisa digapai akan menghasilkan perilaku destruktif seperti rendah diri dan merasa minder.
Hal tersebut juga tidak jarang menjadi sebuah indikator tentang keberdayaan dan kepopuleran seseorang. Dampak buruknya adalah ketika teman media sosial memberikan banyak pujian berupa like/loved atas postingan yang kita post maka ada kebanggan tersendiri yang merasa bahwa diri "Ada". Kebalikannya, ketika sedikit yang me-like/loved maka berasa minder dan merasa “tidak ada" atau tidak eksis, sehingga tidak jarang banyak perilaku-perilaku di luar akal sehat banyak dilakukan hanya demi update untuk mencari perhatian-perhatian yang tidak bermanfaat.
Singkatnya, sisi gelap dari fenomena hingar bingar kehidupan yang selalu di update melalui medsos membuat tingkat konsumtif masyarakat menjadi semakin gila dan tak wajar. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat ini, contoh kecilnya seperti si miskin yang memaksakan diri untuk mengikuti trend yang jelas-jelas diluar batas kemampuannya hanya sekedar agar eksistensinya "Ada", dan si kaya yang semakin sombong memamerkan kemudahan hidupnya dengan update di media sosial.
Meskipun memang konsumsi adalah aktivitas dari manusia yang terelakan, namun sebaiknya jangan melupakan hal-hal yang bersifat esensial. Beberapa perkembangan sosial yang luar biasa patut kita waspadai, terutama tentang terbentuknya bentuk kehidupan sosial baru yang menjadikan konsumsi sebagai pusatnya, sehingga kemudian justru muncul banyak masalah yang semakin nyata dan meresahkan bagi kita semua.
Perkembangan luar biasa ini sudah tak lagi menekankan pembedaan antara keperluan untuk bertahan hidup bagi manusia (kebutuhan hakiki), dan perkembangan suatu ideologi yang berdasarkan pada konsumerisme (kebutuhan eksistensi). "Masyarakat hari ini terlalu ambisius bereksistensi untuk menunjukkan dirinya "Ada", dan melupakan hal-hal yang bersifat esensial."