Dalam rangka menciptakan pembelajaran yang berkualitas, maka salah satu hal yang perlu diupayakan adalah dengan menghadirkan lingkungan belajar yang inklusif dan aman. Perwujudan suasana pembelajan yang aman dan nyaman dapat dicapai melalui komitmen yang dibangun bersama untuk mencegah menangani kekerasan.
Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) dalam mencapai pendidikan yang inklusif dan aman, mengeluarkan regulasi yang mengatur perihal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) yaitu dalam Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 yang diharapkan mampu menjadi kebijakan hukum untuk mewujudkan 'atmosfer' lingkungan sekolah yang jauh dari kekerasan, perundungan, dan hal yang tidak menyenangkan.
Salah satu poin yang terkandung dalam peraturan tersebut adalah pendidik, peserta didik dan tenaga kependidikan menjadi fokus pencegahan dan penanganan kekerasan. Poin tersebut menegaskan keharusan kerja sama antar warga sekolah dalam mewujudkan regulasi yang telah diterbitkan oleh Menteri Pendidikan.
Menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan jauh dari kekerasan tentunya mengharuskan pada praktik pembelajaran tidak ada hal-hal yang justru menjadikan lingkungan sekolah tidak nyaman, contohnya maraknya bullying atau kekerasan fisik dan verbal antar teman, terlebih lagi kekerasan yang dilakukan justru oleh pendidik, hal itu tentu tidak seharusnya terjadi.
Lantas, sebagai seorang pendidik yang menjadi salah satu unsur untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik dan membangun karakter subjek didik, guru tidak hanya menstransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga nilai-nilai kehidupan dengan cara yang pastinya jauh dari kekerasan.
Namun pada praktiknya, ada beberapa kejadian kekerasan yang justru dilakukan oleh pendidik dengan dalih memberikan hukuman kepada anak, contohnya memarahi dengan nada tinggi atau lebih jauh lagi memberikan hukuman dengan cara memukul atau menendang. Salah satu contoh terjadi di Sumatera Selatan pada Februari, 2023 di mana seorang guru memukul anak kelas 6 SD menggunakan gagang sekop sampah.
Sirozi, pengamat pendidikan menyampaikan bahwa kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh pendidik tentu sangat disesalkan. Pasalnya, apa pun alasannya, seorang pendidik tidak boleh melakukan tindakan kekerasan apalagi sampai menggunakan alat seperti contoh kasus yang terjadi di Sumatera Selatan.
Kejadian tersebut menjadi peringatan bagi seluruh pendidik untuk kembali memahamkan bahwa mendidik itu tidak perlu dengan kekerasan. Mengingat hal itu, lalu bagaimana dengan pendidik yang memang ingin memberi hukuman kepada peserta didik yang memang melakukan kesalahan? Jika zaman dulu, menghukum dengan cara memukul ataupun mencubit tentu menjadi hal yang lumrah. Berbeda dengan hari ini, pola pemberian hukuman sudah jauh berubah.
Misi pendidikan adalah memperbaiki menumbuhkembangkan karakter baik pada anak, maka ketika anak salah, bukan dengan merusak melalui kekerasan, melainkan memperbaiki kesalahan. Praktisi pendidikan dari Universitas Negeri Makassar, Abdullah Pandang menilai menghukum memang memiliki efek negatif. Banyak para tokoh tidak merekomendasikan tindakah hukuman sebagai bagian dari tindakan pendidikan. Namun sebenarnya, menghukum itu boleh sebagai salah satu opsi yang bisa dipilih untuk memperbaiki perilaku murid. Asal sesuai syarat dan ketentuan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pendidik saat akan melakukan hukuman. Pertama, menghukum harus sesuai dengan bagian perilaku anak yang salah dan bukan menghukum keseluruhan pribadi anak. Fokuslah hanya pada kesalahan anak. Berat ringannya hukuman yang akan diberikan kepada peserta didik sangat tergantung pada besar kecilnya kesalahan yang dia perbuat, tujuan yang hendak dicapai dan keadaan peserta didik.
Dalam hal ini pendidik janganlah cepat-cepat memberikan hukuman terhadap peserta didiknya. Pada tahap pertama, peserta didik diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan diri dan menghormati dirinya serta merasakan akibat dari perbuatannya tersebut.
Apabila pada tahap pertama ini belum berhasil, maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya yaitu berupa teguran, peringatan dan nasehat-nasehat, sebagaimana penjelasan al-Ghazali: "Maka dalam tindakan yang demikian kalau anak masih kembali berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia ditegur."
Kedua, melakukan hukuman sesegera mungkin dengan tujuan agar peserta didik mengerti alasan logis kenapa dihukum. Dalam hal ini perlu adil, konsisten dan tidak memandang status subjek didik ketika memberikan hukuman.
Ketiga, memberikan hukuman dengan memperhatikan suasana yang sudah tenang dan tidak dalam kondisi emosional yang marah. Keputusan pendidik dalam memberikan hukuman harus melalui pertimbangan dan kepala dingin.
Menghukum anak diperbolehkan, hal ini sebagai bentuk validasi bahwa tidak semua yang dilakukan peserta didik itu benar, namun harus dengan cara yang tepat. Pun hukuman juga bisa dijadikan sebagai metode dalam mendidik subjek didik, yaitu memberikan pembelajaran agar subjek didik mampu membedakan mana hal yang patut dan tidak patut dilakukan.
Di sisi lain, tidak hanya para guru, orangtua pun harus lebih bijak dalam bersikap, terutama dalam menanggapi keluhan-keluhan anaknya di sekolah. Sebab, guru dan orangtua sejatinya adalah fondasi utama pendidikan anak. Keduanya harus seirama, intens menjalin komunikasi demi kemajuan pendidikan.
Adanya komunikasi dan kerja sama yang baik antara pihak guru dan pendidik diharapkan mampu mewujudkan lingkungan pendidikan yang nyaman, di mana orang tua juga perlu berkordinasi dengan guru terkait kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik. Jika ada peserta didik yang melakukan kesalahan di lingkungan sekolah dan kemudian guru memberikan hukuman yang logis, maka peran orang tua harus bertindak lanjut untuk memberikan arahan dan nasihat kepada peserta didik agar tidak terulang, sehingga pendidikan tanpa kekerasan bisa secara bersama-sama diwujudkan.