Pada era kontemporer, beragamnya isu-isu global yang muncul dan telah menjadi perhatian utama bagi masyarakat dunia; mulai dari masalah kultural, gender, lingkungan, ekonomi, hingga hak asasi manusia. Negara dipandang menjadi semakin tidak mampu memecahkan isu-isu global yang telah berlangsung sejak lama dan berpotensi menimbulkan bencana di masa depan. Oleh karena itu, setiap isu global tersebut disuarakan oleh setiap lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk memenuhi hak-hak mereka.
Sebelum abad ke-20, gerakan sosial hanya berfokus pada perjuangan ideologis. Namun pada era globalisasi, gerakan sosial bergeser pada satu bentuk transnasional atau perjuangan yang melewati batas negara melalui suatu tuntutan yang sama, sehingga menjadi gerakan sifatnya global. Para aktivis inilah dari berbagai belahan dunia berlandaskan pada tujuan yang sama dalam menyuarakan sebuah isu spesifik melalui global social movement, sehingga hadirnya sebuah pembangunan identitas secara signifikan. Hal tersebut memunculkan harapan agar gerakan sosial global yang sifatnya speak out atau bersuara dengan turun ke jalan, sehingga tidak hanya melalui media massa.
Global social movement mungkin dilakukan untuk membawa perubahan sosial secara meluas dalam tata kelola global hingga menolak/membatalkannya suatu kebijakan dan norma dari global governance yang dipandang merugikan masyarakat global (khususnya mereka yang terasingi). Global social movement telah digambarkan sebagai gerakan yang tidak terstruktur, namun mampu memberdayakan penduduk yang tertindas untuk mengatasi tantangan yang efektif serta melawan elit yang lebih kuat dan diuntungkan (Nandy, 2024).
Oleh sebab itu, global social movement mencoba untuk mengubah struktur global yang dianggap tidak berkeadilan, namun bukan bertujuan untuk menggulingkan rezim atau mengkudeta suatu pemerintahan. Dalam setiap global social movement, seluruh individu berperan melakukan suatu aktivitas untuk mengaktifkan suatu isu yang memprovokasinya secara aktif dan telah disetujui secara global. Masyarakat global memiliki tujuan yang sama dan bersatu dengan tidak memandang status properti, jenis kelamin, ras, agama atau etnisitas individu.
Para aktivis menggunakan tindakan yang tidak konvensional dalam aksinya seperti protes massal. Mereka mengembangkan identitas kolektif yang agak kabur dan bersifat tumpang tindih dengan maksud mewujudkan kontribusinya atas kesejahteraan sosial, demokrasi, perdamaian, pemerataan, partisipasi, serta degradasi ekologis agar memudarkan kekuasaan global yang tidak setara di masa depan. Dengan begitu, para aktivis ini mewakili sebuah metode perubahan sosial dari bawah untuk menjangkau jauh atas reformasi di dalam tatanan politik internasional.
Mengenal Global Social Movement
Menurut definisi dari Cohen (2004), global social movement merupakan upaya yang terorganisir secara longgar oleh sekelompok besar masyarakat dari berbagai kalangan dan menggunakan Non-Governmental Organization sebagai wadah untuk mencapai agenda tertentu secara sistematis di seluruh dunia. Dimulainya globalisasi yang menembus ruang dan waktu di akhir abad ke-20 telah menghasilkan peningkatan tajam dalam jumlah kampanye gerakan sosial global, yang dibuktikan dengan munculnya hampir tiga kali lipat jumlah organisasi transnasional (Berger & Holger, 2017). Infrastruktur yang mendasari aktivisme dalam global social movement berpusat pada perluasan jaringan teknologi informasi dan koneksi organisasi internasional.
Beberapa akademisi berpendapat bahwa secara historis, global social movement pada mulanya digerakkan melalui pendidikan (penyebaran literatur yang lebih luas) dan peningkatan mobilitas tenaga kerja karena industrialisasi dan urbanisasi masyarakat (menghasilkan pemukiman yang lebih besar dimana masyarakat dengan tujuan yang sama dapat berkumpul). Salah satu akademisi di bidang sosiologi yaitu Pierre Bourdieu, dikenal sering mengkritik kaum intelektual yang hanya bersuara di media massa saja.
Bourdieu mendukung masyarakat, terutama kelompok akademisi agar speak out di tengah kerumunan besar melalui suatu perjuangan sosial, tidak hanya sekedar wacana. Menurut Bourdieu, kaum intelektual tidak harus diam atau menulis saja, namun harus mempergunakan ilmu pengetahuannya untuk menjadi aktivis dalam memperjuangkan kelas, masalah gender, ketimpangan ekonomi, dan isu-isu lainnya (Hadiwinata, 2006).
Bourdieu menyatakan bahwa kaum intelektual perlu menempatkan diri untuk sederajat dengan petani, kaum buruh, hingga masyarakat miskin. Oleh karena itu, Bourdieu mengharapkan adanya kaum intelektual yang beradab dan mampu membantu memperjuangkan hak-hak mereka yang terasingkan melalui global social movement. Gerakan sosial global menurut Bourdieu harus melibatkan segala aspek yang sangat positif untuk mengangkat orang-orang yang terasing atau dikucilkan (Fowler, 2020). Bourdieu juga mendefinisikan gerakan sosial global sebagai suatu instrumen yang untuk menggoyahkan struktur yang mapan.
Banyak global social movement tumbuh selama seratus tahun terakhir, seperti gerakan buruh internasional, gerakan feminisme/emansipasi perempuan, dan perjuangan penghapusan perbudakan pada abad ke-19. Gerakan-gerakan tersebut berusaha untuk mengatasi masalah aksi kolektif, yang dimana sebagian besar berjalan dengan sukses dan berdampak pada berdirinya organisasi civil society seperti partai politik hingga asosiasi buruh di banyak negara. Namun suatu waktu munculnya perdebatan bahwa kebebasan berekspresi dan kemandirian ekonomi dalam budaya Barat modern telah berpengaruh atas jumlah dan ruang lingkup berbagai gerakan sosial global kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Berdasarkan literatur dari Nandy (2024), terdapat dua jenis global social movement yang diimplementasikan oleh masyarakat global:
- Gerakan reformasi: gerakan yang menganjurkan perubahan beberapa norma atau hukum. Contoh gerakannya mencakup serikat pekerja dengan tujuan meningkatkan hak-hak pekerja, gerakan hijau yang mengadvokasi seperangkat undang-undang ekologi, hingga gerakan yang mendukung penerapan hukuman mati atau hak untuk melakukan aborsi. Beberapa gerakan reformasi mungkin bertujuan untuk mengubah kebiasaan dan norma moralitas secara global.
- Gerakan radikal: gerakan yang didedikasikan untuk mengubah sistem nilai global secara fundamental.
Dinamika Global Social Movement Pasca Perang Dingin hingga Keterkaitannya dengan Eksistensi Media Sosial
Efek globalisasi semakin mendorong global social movement telah menjadi bagian dari ekspresi perbedaan pendapat yang populer dan mendunia. Setiap gerakan sosial menciptakan jaringan longgar antara individu, kelompok, dan organisasi yang berkolaborasi secara lintas batas untuk memajukan agenda serupa di seluruh dunia. Jaringan aktor transnasional yang mendefinisikan penyebabnya mengapa gerakannya bersifat mengglobal; dimana mereka berupaya mengorganisir kampanye protes dan bentuk tindakan lain yang menargetkan lebih dari satu negara atau organisasi pemerintah internasional. Contoh peristiwa global social movement seperti The Battle of Seattle (1999), Occupy Wall Street, Occupy London, Fridays for Future, Black Lives Matter, dan sebagainya.
Global social movement menjadi eksis karena reaksi negatif masyarakat global terhadap globalisasi ekonomi (anti-globalization movement). Mereka berjuang melawan unsur-unsur yang berkembang akibat praktik kotor dari dinamika kapitalisme global. Salah satu contoh kasus yang populer adalah perjuangan Zapatista, dimana kelompok masyarakat dari Meksiko yang menentang perjanjian perdagangan bebas yang dibuat untuk menghilangkan perlindungan harga atas produk kopi yang menjadi dasar ekonomi mereka. Kemudian seiring berjalannya waktu, gerakan sosial global tersebut telah menyebar hingga ke belahan dunia Utara (Duterme, 2024).
Sejak akhir 1990-an, titik utama dari global social movement menekankan pada pertentangan terhadap struktur perekonomian global yang dipengaruhi neoliberalisme. Aktivisme bersifat global tersebut mampu mengoordinasikan aksi kolektif simultan di banyak negara dan selalu mempertahankan momentum seiring adanya forum pertemuan ekonomi global berlangsung setiap tahunnya.
Pada tahun 1996, Manuel Castells berbicara cukup banyak tentang global social movement yang berkaitan pada masalah perekonomian global melalui bukunya berjudul The Rise of the Network Society. Castells meyakini bahwa kemarahan telah dirasakan oleh banyak orang di seluruh dunia, yang sering ia sebut sebagai slogan we are 99% in the world. Castells memberikan argumentasi yang menyatakan bagaimana elit global yang berjumlah 1% menjadi lebih kaya alias kaum pemilik modal yang mempunyai kekuasaan, sedangkan 99% menjadi semakin miskin. Castells juga percaya bahwa melalui kemarahan tersebut, hal ini telah memberikan kekuatan pada gerakan sosial secara mengglobal untuk melawan penindasan dan ketimpangan global.
Oleh karena itu, global social movement dikaitkan dengan misi mewujudkan keadilan sosial global dan demokratisasi untuk melawan gurita neoliberal yang telah menjadi predator secara invisible hand sepanjang sejarah. G7, G20, World Economic Forum, WTO, serta banyak lembaga dan forum ekonomi global lainnya menjadi sasaran empuk oleh kelompok aktivis di seluruh dunia untuk menyampaikan tuntutan mereka.
Contoh global social movement yang populer adalah The Battle of Seattle pada tahun 1999 atau dikenal sebagai 1999 Seattle WTO protests. The Battle of Seattle telah menjadi momentum bagi 50.000 aktivis dari berbagai elemen untuk melakukan demonstrasi besar dan tersebar hingga di beberapa negara, untuk menuntut agar World Trade Organization dibubarkan.
Gerakan sosial ini dilatarbelakangi oleh kehadiran WTO yang dianggap perpanjangan tangan kekuasaan perusahaan multinasional untuk menciptakan kesenjangan secara luas antara negara maju dengan negara berkembang (Gibson, 2024). Dalam serangkaian putusan, WTO telah mencabut langkah-langkah perihal membantu kelompok miskin di dunia dan melindungi lingkungan, hanya demi kepentingan terselubung dari perusahaan multinasional.
WTO dikritisi oleh masyarakat global yang anti-kapitalisme, karena hanya berjuang untuk meningkatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan semua pertimbangan lain. Peristiwa The Battle of Seattle tersebut berakhir dengan keberhasilan bagi masyarakat sipil, sebab WTO membatalkan konferensi tingkat menteri di Seattle. Melalui gerakan sosial yang mengglobal tersebut, menjadi inspirasi para aktivis untuk berusaha menciptakan fenomena kesetaraan secara adil, manusiawi, dan berkelanjutan di abad ke-21.
Dalam satu dekade terakhir, global social movement telah menjadi instrumen diplomasi yang dikenal sebagai mediasi keterasingan. James Der Derian (1987) menyatakan bahwa ada banyak komunitas yang terasingi dan perlu mendapatkan perhatian, seperti kelompok feminisme. Bahkan komunitas yang terasingi ini tidak diakui oleh negara karena masih kuatnya pengaruh agama dan budaya lokal. Adanya mediasi keterasingan, global social movement sering memanfaatkan perkembangan teknologi seperti smartphone yang menghadirkan media sosial dan internet sebagai alat mobilisasi publik secara lebih luas untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada negara.
Penggunaan internet dan media sosial secara ekstensif; counter hegemonic, pro-poor, dan emansipatoris; serta proses pengambilan keputusan yang partisipatif, inklusif dan berbasis konsensus telah membantu menyebarkan saluran informasi terkait hak-hak mereka agar ditampung oleh negara. Fenomena ini mulai bertumbuh pesat di Barat dan telah eksis di negara-negara non-Barat, termasuk Indonesia.
Para aktivis global social movement berinovasi dengan menggunakan teknologi komunikasi yang eksis (seperti email, media sosial, dan situs web) untuk mengkoordinasikan aksi protes serentak dengan melewati lintas batas antar-negara atau dikenal sebagai global village. Banyak aktivis kontemporer ini melihat bahwa media sosial sebagai titik balik utama dan perantara dalam mencapai kapasitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk tujuan mobilisasi massa berskala besar dan berkelanjutan.
Konten media sosial memungkinkan penyebaran informasi yang cepat ke khalayak yang luas. Seluruh aktivis dapat dengan cepat berbagi berita, informasi terkini, dan ajakan untuk bertindak, menjangkau orang-orang melewati lintas batas geografis dan budaya hampir seketika (Leong et al, 2020). Kecepatan tersebut sangat penting selama krisis atau situasi mendesak, yang memungkinkan aktivis memobilisasi dukungan dan sumber daya dengan cepat.
Adanya salah satu contoh kasus mengenai bagaimana media sosial berhasil mendorong terjadinya suatu global social movement, seperti gerakan Occupy Wall Street pada tahun 2011. Gerakan tersebut sebagai reaksi kritis dari masyarakat global terhadap celah demokrasi Barat di tengah tumbuhnya kekuatan elit global. Occupy Wall Street dimulai dari ketidakpercayaan publik Amerika Serikat pada sektor swasta setelah krisis ekonomi tahun 2008. Para aktivis memprotes pengaruh perusahaan multinasional atas ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, pengangguran yang tinggi, serta kasus korupsi. Kebangkitan Occupy Wall Street berbentuk aksi protes ini dilakukan lewat penyebaran informasi melalui media sosial oleh para aktivis kepada pemerintah Amerika Serikat dan Kanada hingga mengglobal.
Media sosial sebagai counter oleh publik kepada mereka yang 1%, akibat alokasi kekuasaan yang tidak proporsional dalam bentuk modal, pengaruh politik, dan kendali atas alat produksi. Dalam kasus Occupy Wall Street, media sosial berfungsi sebagai katalisator untuk mengorganisasi dan menyatukan para pendukung gerakan, terutama melalui slogan "We are 99%", yang mengubah wacana politik dan sosial tentang distribusi kekayaan. Upaya yang dilakukan oleh gerakan Occupy memang menyoroti masalah ketimpangan untuk menyiapkan panggung bagi gerakan sosial secara global di masa depan, guna menciptakan perubahan yang lebih besar.
Berdasarkan pemikiran dari Manuel Castells, Occupy Wall Street dapat disebut sebagai gerakan jaringan, karena peran media sosial yang digaungkan oleh kelompok sayap kiri. Hal ini menjadi bukti keberhasilan media sosial seperti Facebook, Twitter, Reddit, Tumblr, hingga Youtube yang membantu kesuksesan gerakan Occupy; dimana menciptakan transparansi gerakan untuk dibagikan kepada masyarakat umum dan bahkan negara lain, sehingga hal tersebut menciptakan realitas yang mampu meningkatkan audiens di luar Amerika Serikat dan Kanada untuk memiliki peran dalam meramaikan gerakan sosial tersebut. Beberapa media sosial tersebut menjadi platform untuk menyebarkan meme dan gambar protes dengan tanda-tanda yang berisi banyak pesan dengan anti-kapitalisme (Ulung et al, 2023).
Patung Wall Street Bull di New York menjadi subjek yang berulang dari propaganda Occupy Wall Street dalam media sosial. Wall Street Bull sering digunakan sebagai subjek, karena patung tersebut mewakili optimisme finansial yang agresif dan kemakmuran yang konsisten dengan pandangan umum tentang Wall Street. Salah satu figur yang paling umum lainnya dalam media sosial adalah balerina yang menari di atas Wall Street Bull, yang disimbolkan sebagai pembangkangan terhadap Bull. Balerina inilah mewakili cahaya 99% di luar Wall Street. Selain itu, balerina juga menjadi simbol atas respon terhadap kesenjangan upah berdasarkan gender dan kurangnya perempuan di jajaran direksi perusahaan multinasional (Van Gelder, 2011). Occupy Wall Street tersebut menjadi gerakan yang sukses berkat efektivitas media sosial; karena mendorong partisipasi masyarakat di setiap negara agar berdiri bersama untuk melawan ketimpangan global dan membela kepentingan masyarakat yang terasingi oleh struktur neoliberalisme.
Dengan demikian, media sosial menyediakan ruang bagi setiap individu untuk saling terhubung dalam membentuk jaringan global social movement sebagai kerangka solidaritas untuk mengajak setiap lapisan masyarakat global untuk speak out dengan turun ke jalan, seperti yang digambarkan oleh Pierre Bourdieu. Global social movement juga memungkinkan para aktivis global itu sendiri dalam menggunakan platform media sosial untuk berbagi cerita, perspektif, dan tuntutan mereka secara langsung dengan khalayak global, mengenai dinamika perjuangan terhadap sebuah isu yang sedang eksis.