Kebersihan lingkungan adalah cerminan peradaban suatu bangsa. Namun, kenyataan pahit menunjukkan bahwa masih banyak di antara kita yang belum mampu menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Kebiasaan membuang sampah sembarangan bukan hanya masalah estetika, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan dan kelestarian lingkungan.
Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi. Hari ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Peringatan ini seharusnya tidak hanya menjadi seremonial belaka, tetapi juga menjadi momentum bagi kita untuk beraksi nyata.
Namun, di tengah perayaan ini, kita dikejutkan dengan fakta bahwa lautan kita kini penuh dengan plastik, hutan kita gundul akibat penebangan liar, dan udara kita tercemar oleh berbagai jenis polutan. Semua masalah ini berakar dari kebiasaan buruk manusia, salah satunya adalah membuang sampah sembarangan.
Fenomena membuang sampah sembarangan yang masih marak di masyarakat menunjukkan rendahnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
Padahal, setiap individu memiliki peran penting dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Kurangnya kesadaran ini sering kali disebabkan oleh kurangnya edukasi sejak dini dan kurangnya contoh yang baik dari lingkungan sekitar.
Sejak menempuh pendidikan dasar, setiap anak diberikan pemahaman tentang jenis-jenis sampah, organik dan anorganik. Mereka juga diedukasi untuk tertib membuang sampah sebagai praktik tanggung jawab atas apa yang mereka perbuat.
Dalam buku-buku pelajaran, objek sampah dijadikan bahan ajar dan masalahnya disorot sebagai bahan berpikir kritis siswa ketika belajar.
Bahkan aturan di sekolah diperketat untuk masalah kebersihan. Namun, barangkali pelajaran itu hanya berhenti di gerbang sekolah, tidak sampai terimplementasi dalam masyarakat, di rumah, di jalan, di mana pun mereka berada.
Menjadi sebuah refleksi yang mendalam ketika masing-masing dari kita masih berupaya menyembunyikan sampah seperti dosa di balik semak-semak atau pot-pot bunga.
Sedikit banyak juga yang mempertontonkan formulasi membuang sampah lebih efektif dengan melemparnya dari kendaraan sehingga sampah mereka terempas angin dan mendarat entah di mana.
Dibanding dengan pohon yang meranggas daunnya, yang bagi manusia mengotori, justru itu menjadi upaya memperbaiki nutrisi. Daun-daun menjadi pupuk yang akan lebih baik untuk kehidupan pohon.
Bagaimana dengan sampah yang dihasilkan manusia? Bahan kimia dan sifat nonhayati dalam sampah-sampah itu justru memperburuk kesehatan dan kehidupan bumi di masa depan. Jelas tidak bisa disamakan dengan sampah pohon tadi.
Masyarakat sering kali menganggap bahwa masalah sampah adalah tanggung jawab pemerintah atau petugas kebersihan. Padahal, setiap individu adalah bagian dari masalah dan juga bagian dari solusi.
Jika setiap orang berkomitmen untuk membuang sampah pada tempatnya, masalah sampah tidak akan separah ini. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran dari industri juga memperparah masalah ini.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan upaya bersama dari pemerintah, industri, dan masyarakat. Sudah diedukasi, tapi masih saja seperti ini?
Mari kita tilik data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023 yang menyatakan bahwa terdapat 33,672,546.55 ton timbulan sampah per tahunnya di Indonesia.
Baru sekitar 64,01% atau 21,553,692.21 ton per tahun yang terkelola. Angka ini sangat memprihatinkan karena menunjukkan bahwa sebagian besar sampah kita masih berakhir di lingkungan, mencemari tanah, air, dan udara, serta mengancam keberlangsungan hidup berbagai makhluk hidup.
Data ini juga mengindikasikan adanya kekurangan yang signifikan dalam infrastruktur pengelolaan sampah di Indonesia. Banyak daerah yang masih kekurangan tempat pembuangan akhir yang memadai, fasilitas pengolahan sampah, serta sistem transportasi sampah yang efisien.
Jika direnungkan kembali, kita sebagai masyarakat seringkali lebih besar keluhannya daripada tindakannya.
Daripada berusaha menekan penggunaan barang sekali pakai yang berpotensi menyumbangkan sampah atau memperbaiki kebiasaan tidak malu membuang sampah sembarangan, kita lebih suka menyalahkan pemerintah dan petugas kebersihan yang kita pandang buruk kinerjanya dalam mengelola sampah.
Belakangan, sekelompok anak muda yang populer karena tindakan mulianya membersihkan sungai dan lingkungan di beberapa titik terparah timbulan sampah, menjadi sorotan kembali setelah mereka dipanggil seperti jin lampu yang sangat dibutuhkan.
Tentunya dibutuhkan untuk kembali membersihkan sungai yang sempat disulap menjadi lebih bersih sebelumnya. Nyatanya gerakan peduli lingkungan yang digalakan pemerhati lingkungan dan anak-anak muda pencinta alam masih belum menyadarkan persepsi keliru masyarakat.
Ada sebuah papan yang dipasang di sepanjang jalan trotoar menuju kampus kami, Universitas Lampung, yang kurang lebih bertuliskan, “Jika tidak mau membersihkan, setidaknya jangan mengotori”. Sebuah ungkapan menyindir yang menyentil kesadaran kita sebagai pengguna fasilitas umum.
Bahkan di balik kalimat sederhana itu, tersirat pesan mendalam tentang tanggung jawab individu terhadap lingkungan sekitar. Kontras dengan harapan kita akan lingkungan yang bersih dan asri. Papan tersebut menjadi semacam otokritik bagi kita semua.
Barangkali saya bukan salah satu korban ‘penitipan sampah’. Pernahkah Anda berkunjung ke suatu tempat, kemudian kendaraan kita yang terparkir diselipkan sampah dengan berbagai macam bentuk, misalnya potongan kertas bekas struk pembelian, bungkus makanan ringan, botol minuman, atau sampah lain yang tidak seharusnya dibuang pada sebuah kendaraan?
Padahal beberapa toko dan fasilitas publik menyediakan tempat sampah yang diletakkan di titik yang strategis. Barangkali, orang-orang ini terlalu sibuk untuk sekadar berjalan beberapa langkah membuang sampah mereka sebagai bentuk tanggung jawab, atau mereka hanya ingin membuat kita lebih banyak berbuat baik dan berperan untuk lingkungan.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa masyarakat kita cukup malas mengelola sampah. Ketika ketahuan buang sampah di sungai atau lokasi yang dilarang, masyarakat kita akan berdalih bahwa itu hanya (perbuatan) sekali. Memang sekali, sekali setiap hari. Tidak jarang, masyarakat kita lebih galak ketika dinasihati.
Baru ketika ada bencana menghampiri, pemerintah jadi sasaran lagi. Dibandingkan dengan hal itu, generasi muda itu benar-benar menguras otak untuk mengakali pengelolaan sampah yang belum optimal di lingkungannya masing-masing.
Membuat produk ecobrick, kerajinan tangan, sabun cuci, produk kecantikan dari bahan alami, melakukan kampanye, melakukan tindakan membersihkan sampah, membuat produk biodegradable, pengoptimalan energi dari sampah, membangun bank sampah, dan melahirkan banyak komunitas peduli lingkungan.
Namun, mengapa generasi muda harus memikul beban ini sendiri?
Masalah sampah adalah tantangan kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Selain upaya individu dan dukungan pemerintah, kita juga perlu melibatkan sektor swasta dalam mencari solusi inovatif.
Pengembangan teknologi ramah lingkungan, investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah, serta promosi ekonomi sirkular adalah langkah-langkah penting untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Jika masyarakat tidak kunjung sadar juga, bukankah kita harus menulis surat wasiat berisi permintaan maaf kepada generasi mendatang karena hanya mampu mewariskan gundukan sampah yang menandakan sejarah betapa tidak berdayanya terhadap rasa malas dan budaya tidak malu membuang sampah sembarangan.
Jika kita tidak segera bertindak, kita akan meninggalkan warisan buruk bagi generasi mendatang. Namun, saya percaya bahwa kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah keadaan. Dengan perubahan kebiasaan sehari-hari dan dukungan dari semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat bagi generasi masa depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS