Euforia Karnaval Umum dan Pergeseran Paradigma dalam Memaknai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | M. Fuad S. T.
Euforia Karnaval Umum dan Pergeseran Paradigma dalam Memaknai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Momen karnaval peringatan HUT ke-79 kemerdekaan RI (dok. pribadi)

Hanya dalam hitungan hari, bulan Agustus akan segera berlalu. Seperti halnya bulan-bulan Agustus di tahun-tahun sebelumnya, bulan Agustus di tahun 2024 ini pun diisi dengan beragam keriuhan dan ingar bingar khalayak untuk merayakan kemerdekaan RI.

Sebuah hal yang wajar, karena semenjak kemerdekaan diproklamasikan tahun 1945 lalu, bulan kedelapan dalam kalender tahun masehi ini berubah menjadi sebuah bulan yang sakral, karena berisikan peringatan kemerdekaan negeri ini.

Maka, tak mengherankan jika di berbagai pelosok penjuru negeri, karnaval dari skala desa hingga skala daerah yang lebih tinggi pun dilaksanakan.

Tujuan utamanya pun jelas, untuk memperingati dan mensyukuri lepasnya negeri ini dari belenggu penjajahan Belanda, yang konon menurut Bung Karno sang Proklamator, berlangsung selama tiga setengah abad terhitung dari kedatangan Cornelis de Houtman pada tahun 1590-an.

Namun sayangnya, ingar bingar perayaan yang dilakukan oleh khalayak dalam mewarnai kemerdekaan Indonesia kini sudah jauh bergeser.

Jika dulunya perayaan-perayaan yang diadakan berorientasi pada hiburan dan kegiatan yang kompetitif bermuatan patriotisme dan nasionalisme, kini sudah tak lebih dari sekadar perayaan tanpa makna yang tentunya sangat jauh dari nilai-nilai yang menggambarkan kecintaan kepada tanah air.

Terlebih lagi, dalam berbagai momen, kita mendapati bahwa karnaval-karnaval umum yang digelar, justru menjadi sebuah pembuktian nyata dari pergeseran paradigma masyarakat dalam memaknai perayaan kemerdekaan.

Seperti contoh, untuk saat ini kita sudah tak asing lagi dengan model karnaval yang menjadi ajang "sound battle". Sound-sound horeg yang terkadang membuat telinga tuli temporer, justru menjadi penghias wajib dalam pelaksanaan karnaval.

Belum lagi dengan tari-tarian barisan wanita yang juga membuat kita mengelus dada. Memang, mereka biasanya menggunakan pakaian tradisional, namun sering kali pakaian yang mereka kenakan itu sudah dimodifikasi, sehingga tak jarang pula memperlihatkan lekuk tubuh atau bahkan memiliki belahan tinggi yang sama sekali tak mencerminkan budaya ketimuran khas Indonesia.

Sisi ironis dari karnaval saat ini bukan hanya itu. Justru yang paling membuat mengelus dada adalah, di tengah lagu-lagu "tak jelas" yang diputar secara masif oleh truk-truk pengangkut "sound horeg", terdapat tarian-tarian para remaja dengan pakaian yang tak terlalu pantas.

Iya, anak-anak sekolah menengah yang seharusnya sudah berada di tahap "aplikatif" usai mendapatkan pembelajaran terkait norma dan perilaku sosial di masyarakat, justru menjadi pelaku dari perilaku yang satu ini.

Hal ini tentunya sangat patut untuk disayangkan. Karena dari tingkah laku seperti inilah pada akhirnya kesan-kesan dan pikiran misoginis akan tercipta. Terlebih lagi, jika dihubungkan dengan keberadaan sekolah yang merupakan tempat untuk membentuk akhlak dan karakter para penerus bangsa, hal ini sangatlah terbalik 180 derajat.

Sekolah yang seharusnya menjadi salah satu penyaring dari pergeseran norma, justru terlibat dalam perubahan ke arah negatif seperti ini, sehingga membuat pemahaman-pemahaman positif yang diajarkan, hanya terkesan sebagai sebuah teori semata yang hilang ketika kaki melangkah keluar dari gerbang lembaga.

Hal ini memang terjadi secara nyata! Hari Minggu (25/8/2024) kemarin, di sebuah karnaval setingkat kecamatan yang diadakan di Kabupaten Rembang, terlihat barisan penari wanita dengan pakaian yang kurang senonoh jika dikomparasikan dengan kultur dan adat budaya setempat tengah menari di tengah riuhan sound yang memekakkan telinga para pendengarnya.

Mungkin bagi sebagian kalangan hal tersebut merupakan sebuah hal yang wajar, namun jika kita mengetahui bahwa sekolah tersebut selama ini dikenal sebagai sebuah sekolah yang mengedepankan nilai-nilai religiusitas, dan seluruh siswinya berhijab ketika berada di sekolah, tentunya hal itu menjadikan kita isykal (janggal) dan mengelus dada.

Sekali lagi, saat ini kita sedang berada di generasi yang memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai kemerdekaan. Banyak pergeseran nilai yang sayangnya menuju ke arah negatif dalam muatan-muatan karnaval yang diselenggarakan. 

Kita berharap, semoga saja ke depannya, karnaval di daerahku, pun daerahmu tetap berlangsung meriah, dan tentunya tanpa menghilangkan esensi dari penyelenggaraan karnaval itu sendiri. Semoga saja!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak