Sharenting: Bahaya dan Luputnya Orang Tua Soal Perlindungan Privasi Anak

Sekar Anindyah Lamase | Ernik Budi Rahayu
Sharenting: Bahaya dan Luputnya Orang Tua Soal Perlindungan Privasi Anak
Ilustrasi Anak (pexels/Juan Pablo S)

Tak bisa dipungkiri hadirnya internet banyak memberikan dampak positif dalam kehidupan kita. Dampak positif internet pada kehidupan kita sangat besar. Bisa dikatakan, internet telah mengubah kehidupan manusia secara signifikan.

Hal ini bisa dibuktikan dengan penggunaan media sosial adalah aktivitas internet terbanyak yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, dengan rata-rata tiga jam empat belas menit per hari. Selain itu juga, penggunaan media sosial di Indonesia mencapai 170 juta orang, atau 61,8% dari populasi Indonesia.

Berbicara tentang pengguaan aktivitas media sosial yang dilakukan oleh masyarakat, tak luput juga banyak orang tua yang akhirnya memanfaatkan hal tersebut untuk mengabadikan momen pertumbuhan sang anak.

Banyak dari mereka yang membagikan foto, video karena alasan mereka ingin melibatkan keluarga dan teman-teman dalam momen paling membahagiakan dalam hidup mereka. Tak sepenuhnya salah, namun penting bagi kita untuk menyadari risiko yang menyertai pengeposan konten tentang anak-anak secara daring atau yang dikenal dengan istilah “sharenting”.

Sharenting

Merujuk pada istilahnya “sharenting” adalah istilah yang diambil dari dua kata yaitu, parenting dan sharing. Profesor hukum dan Pengacara Pengawas Klinik Hukum Anak dan Remaja, Stacey Steinberg mendefinisikan sharenting sebagai apa yang dilakukan orangtua saat mereka berbicara tentang anak-anak mereka di luar lingkungan keluarga, sebuah postingan di media sosial dengan gambar, posting blog tentang anak mereka, video melalui platform perpesanan seperti Whatsapp, dll. 

Bahaya Sharenting

UNICEF memberikan 2 hal besar yang merupakan resiko saat orang tua maupun pengasuh berbagi konten tentang anak-anak.

1. Bahaya nyata yang dapat dialami anak-anak ketika orang tua berbagi informasi secara daring. Contohnya adalah memungkinkan adanya beberapa orang dewasa yang mungkin ingin berinteraksi dengan atau menyakiti anak-anak seseorang karena konten yang mereka lihat secara daring. Adanya data yang menjadi jejak digital tentang anak-anak berdasarkan informasi yang dibagikan, memungkinkan bisa dideteksinya tentang apa yang akan dikatakan atau dilakukan anak-anak kita atau masalah kesehatan yang mungkin dialami anak-anak yang menjadi korban sharenting.

Selain itu, adanya gambar palsu juga sangat mengkhawatirkan. Adanya ancaman gambar anak-anak korban sharenting digunakan kembali dengan cara yang tidak sah atau jahat yang dapat menyebabkan kerugian atau bahkan kemungkinan seseorang membuat gambar atau meme yang dapat menjadi viral dan menampilkan seorang anak dalam pandangan negatif.

2. Bahaya yang kedua adalah pengabaian privasi. Saat membagi hal-hal tentang anak-anak kita secara daring tanpa melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan, kita kehilangan kesempatan yang berharga untuk mengajarkan dan menjadi contoh bagi anak-anak kita mengenai gagasan persetujuan, dan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kita menghargai privasi.

Sharenting dan Luputnya Perlindungan Privasi Anak

Karena adanya sharenting, kerap kali orang tua maupun pengasuh lupa tentang budaya konsen. Konsen ini diperlukan dalam aktivitas membagikan informasi tentang anak. Hal ini diatur UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 26.

Pasal 26 menyebutkan bahwa, persetujuan harus diperoleh sebelum penggunaan informasi melalui perangkat elektronik yang berhubungan dengan data pribadi seseorang. Persetujuan ini memberikan dasar untuk berbagi data pribadi, termasuk data anak. Namun, anak-anak bukanlah seorang yang dewasa sehingga mereka tidak dapat mengungkapkan masalah dan preferensi pribadinya. Ketika anak-anak belum memiliki kemampuan untuk membuat keputusan untuk memenuhi hak privasinya, orang dewasa, terutama orang tua, bertanggung jawab untuk melindungi hak anak dan menegakkan tuntutan atas nama anaknya sendiri.

Hal tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 pasal 20 dimana orang tua diharuskan untuk melindungi anak mereka. Orang tua mungkin menganggap pengungkapan informasi dan identitas anak sebagai perilaku yang wajar karena ketidakjelasan kebijakan dan undang-undang serta tingkat literasi media yang rendah. Akibatnya, orang tua percaya bahwa pengungkapan informasi dan identitas anak adalah perilaku yang wajar, terutama karena mereka memiliki hak sebagai orang tua.

Nah, itu dia penjelasan mengenai sharenting. Sering kali kasus sharenting hanya dianggap sebagai mengabadikan momen anak semata, padahal sharenting jika dilakukan berlebihan akhirnya yang terjadi adalah luputnya orang tua untuk melindungi privasi anak.

Berkaitan dengan kasus sharenting ini, hal yang perlu diperhatikan orang tua harus memilih momen anak yang mana yang bisa dibagikan. Orang tua juga harus melindungi privasi atau beberapa data anak yang tidak perlu dibagikan ke publik.

Selain orang tua, peran Negara juga sangat dibutuhkan. Negara harus membuat garis batas yang jelas untuk menjaga privasi anak. Jika Negara telah berhasil membuat garis batas, maka perlindungan atas privasi anak bisa akan bisa dikendalikan oleh semua pihak tanpa terkecuali agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan di masa selanjutnya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak