Di dunia perfilman Indonesia, jalur menuju layar lebar itu ibarat maraton lintas rintangan. Nggak cukup hanya punya ide cemerlang, naskah yang rapi, atau tim produksi yang solid, semua itu baru modal awal. Perjalanannya masih panjang.
Produser atau distributor harus mulai dari menyiapkan proposal, mengajukan surat permohonan tayang ke jaringan bioskop, lalu bersiap menghadapi tahap yang bikin dag-dig-dug, yakni MENUNGGU. Waktu tunggunya bisa hitungan bulan. Tiga bulan tuh angka yang sering beredar di kalangan sineas, bukan karena ada aturan tertulis, tapi karena memang begitu seringnya kejadian di lapangan.
Menunggu tiga bulan itu nggak cuma soal kesabaran. Di dunia nyata, waktu sepanjang itu bisa berarti kehilangan momentum promosi, kehabisan dana, atau bahkan kehilangan semangat. Apalagi setelah balasan datang, belum tentu isinya kabar baik. Bisa saja penawaran yang diberikan adalah jam tayang yang nggak strategis, layar yang terbatas, perlu revisi , atau durasi tayang yang cuma sebentar (bila filmnya diprediksi nggak laku). Di tahap ini, banyak film terpaksa mengalah.
Proses seleksi ini bukan tanpa alasan. Bioskop, sebagai bisnis, harus memastikan layar mereka diisi film yang punya potensi mendatangkan penonton (keuntungan). Jadi wajar kalau mereka pilih-pilih. Yang bikin miris tuh, ketika proses ketat itu justru terasa ‘longgar’ untuk film tertentu.
Kasus Film Merah Putih: One For All

Kasus Film Merah Putih: One For All merupakan contoh paling segar. Film animasi ini muncul begitu saja di jadwal tayang bioskop nasional, tanpa pemberitaan panjang atau gelombang promosi besar yang biasanya jadi tanda film akan dirilis. Tiba-tiba saja ada trailer, poster, lengkap dengan jadwal tayang, seolah-olah perjalanan menuju layar lebar adalah jalan tol bebas hambatan. Sementara itu, di luar sana ada sineas yang sudah mengetuk pintu bioskop berbulan-bulan, tapi nggak juga kunjung dibuka.
Yang membuat publik mengernyit adalah kualitas animasi film ini. Dari trailer yang dirilis, netizen langsung bereaksi keras. Ada yang bilang visualnya seperti game lama, ada yang menyoroti penggunaan aset 3D yang tampak familier milik ‘orang lain’, bahkan ada yang menganggapnya nggak layak untuk layar lebar. Ketika hal seperti ini bisa meluncur mulus ke bioskop, wajar kalau banyak orang mempertanyakan mekanisme di balik layar.
Apakah tema nasionalisme membuat film ini mendapat perlakuan khusus? Apakah ada jaringan relasi yang memberi jalur cepat? Atau apakah prosedur distribusi film di Indonesia sebenarnya nggak setransparan yang dibayangkan banyak orang? Pertanyaan-pertanyaan ini sah untuk diajukan, bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mencari tahu kenapa ada kesan proses yang rumit bagi sebagian sineas bisa terasa mudah bagi yang lain.
Karena kalau kita kembali melihat kenyataannya, di luar sana ada banyak film yang lahir dari perjuangan panjang. Ada yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk riset, syuting di lokasi sulit, mengerjakan pascaproduksi dengan teliti, dan tetap harus antre berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan slot layar. Ada yang bahkan harus puas hanya dengan penayangan di festival atau platform daring karena nggak kebagian jatah di bioskop.
Kesenjangan inilah yang bikin publik merasa ada ‘pintu belakang’ yang bisa diakses sebagian pihak. Ketika pintu itu terbuka lebar untuk film yang dinilai belum siap, pesan yang terkirim ke ekosistem perfilman tentu jadi membingungkan, seolah-olah kualitas teknis dan kekuatan cerita bukan lagi kunci utama, melainkan siapa yang ‘kamu’ kenal dan seberapa ‘aman’ tema yang diusung.
Dan inilah yang sebenarnya lebih berbahaya dari ‘sekadar satu film’ dengan kualitas kontroversial. Jika praktik ini dibiarkan, penonton akan kehilangan kepercayaan pada kurasi layar lebar. Bioskop nggak lagi dipandang sebagai panggung tertinggi buat film-film terbaik, tapi hanya sebagai etalase untuk mereka yang punya akses. Sementara itu, film yang lahir dari keringat dan dedikasi justru tersingkir, nggak sempat menunjukkan diri di hadapan publik.
Pada akhirnya, mungkin inilah wajah industri kita saat ini; perjalanan panjang penuh prosedur bagi banyak orang, tapi juga ada jalan pintas yang mulus buat sebagian lainnya. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan membiarkan ketimpangan ini jadi hal yang biasa? Karena kalau semua orang tahu jalur resmi bisa dilompati, perlahan-lahan, semangat untuk menciptakan karya terbaik (film) akan kalah sama dorongan mencari akses tercepat. Ups.