Rocky Gerung, seorang pengajar Filsafat Universitas Indonesia pernah menyatakan bahwa "ijazah itu tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang berpikir", di satu sisi ada benarnya. Apakah ini menunjukkan bahwa dunia persekolahan dan universitas tidak lagi mumpuni mengajarkan kemampuan berpikir yang benar?
Jika yang berijazah saja dipertanyakan kemampuan berpikirnya, bagaimana dengan yang tidak berijazah? Sama ketika kita menanyakan, jika yang suka membaca saja masih keliru, bagaimana dengan yang tidak membaca? Sepertinya, pembacaan Rocky Gerung tersebut bukan tanpa alasan. Bisa jadi, memang dasar-dasar kemampuan berpikir yang dimulai dari kepahaman tentang literasi dan numerasi berawal dari kegagapan guru dalam mengajar. Ketidaktahuan yang secara sadar merusak fondasi pendidikan. Ketidaktahuan yang tidak disadari ataupun ketidaktahuan yang memang tidak pernah diketahui.
Dasar pokok permasalahan ini dimulai dari ketidakajegan pendidikan dan realitas. Apa yang dipelajari tidak linier dengan tantangan-tantangan yang akan dihadapi. Begitupula dengan kondisi kualitas guru yang masih jauh dari harapan. Ketimpangan timur masih terlalu jauh untuk dirata-ratakan baik dari segi akses, kualitas pendidikan, maupun sarana-prasarana pendidikan yang serba terbatas. Kemampuan literasi untuk memecahkan masalah atau melakukan analisis adalah tingkat lebih tinggi dari sekadar membaca dan menulis.
Tantangan tidak berhenti hanya pada sekadar membaca dan menulis, bahkan selama satu dekade, kenaikan Rata-rata Lama Sekolah hanya naik 1,1 poin, dari 7,73 (2014) naik menjadi 8,77 (2023) sepanjang kepemimpinan Presiden Jokowi. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk usia 25 tahun ke atas baru menyelesaikan pendidikan formal hingga kelas 9 SMP (sederajat). Perlu intervensi untuk memperbaiki mutu lulusan dengan memperbaiki tata kelola dan pendidikan profesi guru mulai dari LPTK sampai pemagangan.
Jika guru berkualitas sudah didapat, maka untuk merata-ratakan prestasi pendidikan daerah lebih mumpuni lagi, bukan sekadar merata-ratakan, namun juga lebih presisi dalam memberi penilaian antar guru berkualitas di daerah.
Yang terhormat Bapak Presiden dan Wakil Presiden, tujuan 4 Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua. Namun menjamin semua memiliki kesempatan belajar tidak akan pernah cukup untuk menggenjot pembangunan berkelanjutan di masa mendatang. Terobosan perlu dilakukan, mengingat kondisi pendidikan di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar jumlah guru yang seimbang, namun guru yang sudah siap dengan berbagai konsekuensi untuk melejitkan potensi siswa.
Tujuan 4 ini akan berkorelasi dengan banyak tujuan, namun akan sangat berkaitan dengan Tujuan 8 dan Tujuan 9 Pembangunan Berkelanjutan. Kaitan ketiga TPB ini dimulai dari sebuah diskursus dalam sebuah diskusi.
Saya pernah berdebat dengan beberapa teman di beberapa kementerian dan lembaga terkait pengukuran mutu pendidikan. Saya berpendapat bahwa mengukur mutu pendidikan harus berawal dari guru, bukan sebaliknya, hasil belajar siswa, lingkungan belajar, sarana prasarana, dan lain sebagainya, menurut saya, itu nomor ke sekian. Saya berasumsi bahwa mutu pendidikan akan sangat ditentukan dari kualitas guru, jangan dihubung-hubungkan dengan hasil belajar siswa. Proporsi kualitas guru 90 persen mendominasi, bagaimana pun kurikulumnya, sarpras yang tidak mewah, asal guru yang mengajar berkualitas, sudah dapat menjawab, bagaimana para siswa menjadikan sekolah bukan sebagai titik, melainkan koma. Menjadikan ke sekolah bukan lagi beban, namun merindukan sosok guru yang dapat meng-upgrade, membuka potensi diri siswa ke arah lebih baik.
Mengapa saya menyatakan demikian? Pertama, hasil belajar siswa yang baik merupakan output dari keberadaan guru berkualitas. Namun output hasil belajar siswa saat ini tidak serta merta berasal dari keberadaan guru berkualitas an sich, melainkan faktor-faktor lainnya, seperti mengikuti kursus atau les privat.
Kedua, guru yang berkualitas bukan ditempa sesaat di perguruan tinggi dan baru mengajar setahun dua tahun sudah dianggap “berkualitas”. Pengalaman bergulat dengan kesulitan mengajar dimulai dari pemagangan di sekolah. Secara bertahap, benih kesabaran, pengendalian emosi, mengenal medan dan klik sosial guru, menajamkan insting kepemimpinan dan pergaulan dari guru ke guru maupun guru ke siswa, menjadikan dirinya semakin mumpuni.
Ketiga, prestasi guru bukan hanya soal anak dapat menyelesaikan soal, namun saat guru berhasil memicu atau merangsang daya kritis siswa. Ada feedback, dan ada hal lain di luar konteks kurikulum berani untuk ditanyakan atau didiskusikan. Kekritisan adalah awal dari bagaimana siswa peduli dengan isu-isu yang menjadi bahan diskusi di kelas. Sehingga, sangat tidak adil, jika hanya karena anak-anak masuk perguruan tinggi negeri, seolah sudah dijustifikasi, bahwa anak-anak yang tidak masuk perguruan tinggi negeri, merupakan anak-anak dengan kualitas kedua atau ketiga.
Kepada Pak Presiden dan Wakil Presiden, saya ingin menekankan bahwa profesi guru bukanlah profesi yang ala kadarnya. Ala kadarnya dengan kata lain, guru berhenti hanya pada kurikulum yang diberikan pemerintah. Tidak membongkar kembali, tidak merevisi kekurangannya, tidak berdialektika dengan mata pelajaran lainnya, dan mengulang hal yang sama dari tahun ke tahun.
Pikiran dan mental guru harus selangkah lebih ke depan, bahkan beribu langkah untuk memahami, bagaimana kekurangan anak, bukanlah kekurangan selama-lamanya. Mental sekolah dan pemerintah saat ini seolah bahagia ketika siswa jago dalam semua mata pelajaran, namun alpa terhadap keunggulan komparatif siswa yang berbeda-beda satu sama lain.
Salahkah jika anak jago main bola dalam pelajaran olahraga, lalu dia harus berbakat pula dalam pelajaran matematika, bukankah ini mematikan keunggulannya. Dapat dibayangkan, berapa belas mata pelajaran yang harus dikuasai, dan orangtua pun sepertinya “tertipu” bahwa anak yang bisa semua mata pelajaran, justru tidak teridentifikasi sepenuhnya tentang bakat minatnya pada hal-hal tertentu. Disinilah rusaknya talenta anak, karena sejak awal dirangsang harus menguasai semua mata pelajaran, bukan menantang dirinya untuk fokus pada satu atau beberapa keunggulan.
Kondisi demikian tidak mungkin memberikan harapan, bagaimana generasi ke depan harus berhadapan dengan pasar kerja yang berdaya saing. Di mana kreativitas telah memicu beberapa inovasi yang mampu menggusur banyak bidang pekerjaan, dan menciptakan pekerjaan baru, seperti munculnya gig economy dan remote jobs. Ojek yang tidak beradaptasi akan kehilangan mata pencaharian, toko-toko tidak lagi hidup lewat menyewa lapak, namun sudah bergeser menjadi toko online.
Peter Thiel dalam bukunya Zero to One mengingatkan untuk tidak meniru orang-orang sukses dengan penemuannya di masa sebelumnya. Menurut Peter, Bill Gates selanjutnya tidak akan membuat sistem operasi komputer, Larry Page dan Sergey Brin berikutnya tidak akan menciptakan search engine, dan Mark Zuckerberg yang baru tidak akan membuat jejaring sosial. Jika kita menirunya, maka itu mengartikan kita tidak belajar darinya.
Tantangan ke depan sudah diungkapan Unesco dalam lamannya (2024), penting sekali mengedepankan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for sustainable development). ESD dapat memberi peserta didik dari segala usia pengetahuan, keterampilan, nilai, dan wewenang untuk mengatasi tantangan global yang saling terkait termasuk perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dan ketidaksetaraan. Jika pun berkaitan dengan ekonomi berkelanjutan, ekonomi yang tidak serta merta hanya memikirkan keuntungan. Ekonomi yang berkelanjutan berfokus langsung pada pemenuhan kebutuhan manusia dan lingkungan.
Tujuan 4 Pembangunan Berkelanjutan akan berdampak pada Tujuan 8 dan Tujuan 9 Pembangunan Berkelanjutan. Melalui inovasi dan kreativitas, bukan guru sembarangan yang dapat memberi kesadaran utuh pada anak didik untuk mampu menggambarkan masa depan dan bagaimana peran mereka di masa-masa mendatang. Bukan hanya pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang melejit serta perkembangan industri inovasi dan infrastruktur, namun juga gap sosial ekonomi yang makin berkurang dan kesetaraan pendidikan formal dan nonformal yang sebangun dimana dunia sekolah tidak lagi memikirkan tentang manusia seragam yang harus bisa semua mata pelajaran, namun mulai memfokuskan pada keberagaman kemampuan siswa yang ditonjolkan dan dilatih terus menerus. Dan semua ini dimulai dari keberadaan GURU BERKUALITAS.