Menghadapi Gelombang PHK Karyawan Melalui Lembaga Hubungan Industrial

Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Menghadapi Gelombang PHK Karyawan Melalui Lembaga Hubungan Industrial
Ilustrasi pekerja (Pexels.com/Yury Kim)

Saat ini, Indonesia menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang signifikan. Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan, dari Januari hingga Juni tahun ini, telah terjadi PHK terhadap 101.536 pekerja.

Pada paruh pertama 2024 saja, tercatat 32.064 pekerja mengalami PHK, meningkat sebesar 21,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kondisi ini menjadi ironis, mengingat peran penting tenaga kerja dalam berbagai kegiatan produksi di perusahaan. Kesejahteraan dan ekonomi suatu negara juga sangat bergantung pada kualitas tenaga kerja yang dimilikinya.

Meskipun PHK seharusnya dihindari, jika hal itu tak terelakkan, pengusaha diwajibkan untuk memberikan pemberitahuan resmi kepada pekerja, selambat-lambatnya 14 hari kerja sebelum PHK dilakukan. 

Untuk PHK yang terjadi selama masa percobaan, pemberitahuan harus disampaikan paling lambat 7 hari kerja sebelumnya. Surat tersebut harus mencakup maksud dan alasan PHK, kompensasi, serta hak-hak lain bagi pekerja.

Jika pekerja menerima surat pemberitahuan dan tidak menolak PHK, pengusaha wajib melaporkan PHK tersebut kepada Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas ketenagakerjaan setempat.

Sebaliknya, jika pekerja menolak PHK, mereka harus membuat surat penolakan beserta alasannya dalam waktu 7 hari kerja setelah menerima pemberitahuan.

Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai PHK, penyelesaian harus dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja.

Jika perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian dilanjutkan melalui mekanisme Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur tata cara penyelesaian PHI melalui dua mekanisme: litigasi (di dalam pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan).

Sebelum memilih jalur litigasi atau non-litigasi, pihak-pihak yang berselisih harus terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan melalui perundingan bipartit, yang harus dilakukan dalam waktu 30 hari kerja setelah dimulainya perundingan.

Jika salah satu pihak menolak perundingan atau jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka dianggap gagal.

Jika perundingan bipartit gagal, pihak yang berselisih harus mendaftarkan perselisihan kepada instansi ketenagakerjaan setempat, melampirkan dokumen perundingan bipartit yang telah dilakukan.

Instansi tersebut kemudian akan menyarankan penyelesaian melalui konsiliasi. Jika kedua pihak tidak setuju untuk melakukan konsiliasi, penyelesaian akan dilanjutkan melalui mediasi.

Jika kesepakatan tercapai dalam mediasi, kedua belah pihak harus menandatangani Perjanjian Bersama dan mendaftarkannya di Pengadilan Hubungan Industrial.

Namun, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran dalam waktu 10 hari kerja, dan pihak-pihak harus memberikan jawaban dalam waktu 10 hari kerja setelah menerima anjuran. Jika tidak memberikan jawaban, mereka dianggap menolak anjuran tersebut.

Jika pihak-pihak setuju dengan anjuran mediator, mereka harus membuat Perjanjian Bersama dalam waktu 3 hari setelah menerima anjuran. Perjanjian ini juga harus didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Untuk penyelesaian perselisihan PHK melalui litigasi, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial, yang merupakan pengadilan tingkat pertama untuk perkara PHK.

Penting untuk diketahui bahwa dalam perselisihan PHK, tidak ada upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi; proses lanjutannya adalah kasasi ke Mahkamah Agung.

Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat dilakukan jika mediasi atau konsiliasi tidak berhasil, dan harus dilampiri risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi. Jika tidak dilampirkan, gugatan tidak akan diterima.

Secara keseluruhan, penyelesaian perselisihan PHK wajib dimulai dengan perundingan bipartit. Jika gagal, pihak-pihak dapat memilih proses lain seperti mediasi atau konsiliasi.

Jika proses ini juga gagal, mereka dapat melanjutkan ke litigasi di Pengadilan Hubungan Industrial, dengan syarat harus melampirkan risalah mediasi atau konsiliasi. Jika tidak, gugatan tidak akan diterima.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak