“Gua ngenteni lo dari tadi, tau-taunya lu malah ngilang kayak sinyal di ndeso”. Pernah dengar kutipan mirip di atas? Jika iya, besar kemungkinan kamu adalah salah satu anak muda yang bergaul di media sosial, tempat Bahasa Jawakarta sering seliweran di beranda. Kemungkinan lain, kamu adalah mahasiswa salah satu kota di Pulau Jawa yang ramai dengan mahasiswa asal Jabodetabek.
Namun, bagi kamu yang belum familiar, Jawakarta adalah sebuah “bahasa” yang unik, karena merupakan perpaduan kosakata Jakarta gaul, seperti “gue-lo”, dengan aksen medok khas Jawa atau kata dari bahasa Jawa seperti “ngenteni” (menunggu). Bahasa ini bisa menjadi cerminan identitas sosial anak muda yang terjepit di antara dua budaya “tinggi”: Jakarta yang tinggi unsur modernitasnya dan Jawa yang tinggi akan tradisinya.
Lu bayangin ae, ibarat dua dunia nubruk dalam satu kalimat! Kocak gak tuh?
Biar bayangan kamu makin kentara, coba simak dialog imajiner Jawakarta yang sangat mungkin pernah terjadi ini:
A: "Gua tadi ke sawah sikil gua keblowok." (Aku tadi ke sawah, kakiku kepleset)
B: "Lu kan sudah gua kandani kemarin, kalau mau berangkat itu jangan lupa moco doa. Mangkanya kalau dikandani jangan jegideg ae lu. Siapa jeneng lu, rungokan tuh." (Kamu kan sudah aku beritahu kemarin, kalau mau berangkat itu jangan lupa membaca doa. Makanya kalau dikasih tahu jangan membantah aja kamu. Siapa nama kamu, dengarkan itu.)
*diadaptasi dari konten TikTok @duh.andaza
Coba bayangkan keduanya berkeluh kesah dengan logat Jawa yang kental plus campuran kata-kata ganti tunggal yang asalnya dari bahasa Tiongkok Hokkien itu. Kombinasi yang rentan bikin kita senyum-senyum sendiri.
Lebih lanjut, perpaduan yang tidak lazim ini juga muncul di contoh berikut:
A: "Gua mau beli ombe, ada kan? Yang rosonya mango sama advokat ya. Gua beli loro ya. Mbak sepuranya ya, tak bikin story buat anak-anak biar tumbas di sini." (Aku mau beli minum, ada kan? Yang rasanya mangga sama alpukat. Aku beli dua ya. Mbak, maaf ya, aku bikin story buat anak-anak biar membeli di sini.)
*diadaptasi dari konten TikTok @duh.andaza
Di sini, “gue” dan “lu” ala Jakarta, tapi langsung diarengi kata-kata Jawa seperti “ombe” (minum), “roso” (rasa), dan “loro” (dua). Tabrakan antara gaya bahasa gaul Jakarta dan aksen medok Jawa ini secara alami bikin kita senyum-senyum sendiri.
Sama seperti contoh pertama, humor muncul karena adanya ketidakselarasan gaya yang saling bertemu dalam satu kalimat. Bagi sebagian orang, percakapan ini lucu karena gabungan dua skrip yang biasanya nggak bersisian.
Tapi tunggu dulu, apakah semua orang menganggap Bahasa Jawakarta ini lucu? Atau justru malah bikin bingung?
Nah, di sini menariknya. Humor itu subjektif. Artinya, apa yang bisa bikin satu orang ngakak, bisa jadi bikin orang lain mengerutkan dahi. Jadi, bagaimana ceritanya Bahasa Jawakarta bisa mengandung humor dan menghasilkan tawa?
Fenomena Jawakarta termasuk sebagai humor karena mengandung keanehan atau keganjilan (incongruity) dalam penggunaan kata dan logat. Menurut incongruity theory, humor bisa tercipta karena ada ketidakselarasan antara apa yang diharapkan pendengar dan apa yang benar-benar terjadi dalam percakapan tersebut, yaitu benturan gaya bahasa dari dua dunia yang berbeda (The Linguistics of Humor: An Introduction - Attardo, 2020, h.79), .
Lebih lanjut menurut Script-based Semantic Theory of Humor, Victor Raskin (dalam Encyclopedia of Humor Studies, 2014, h.455) menjelaskan kalau humor terjadi ketika dua pola atau “skrip” yang biasanya tidak berhubungan tiba-tiba bertemu, sehingga menciptakan kejutan yang lucu. Dalam contoh percakapan di atas, terlihat adanya perpaduan antara beberapa skrip bahasa berbeda, yaitu bahasa gaul ala Jakarta, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Perpaduan tersebutlah yang menciptakan efek tak terduga.
Jadi, ketika penutur mengucap kata “gua”, biasanya kata-kata yang mengikutinya adalah Bahasa Indonesia. Umumnya, si pendengar tidak berharap ada kata-kata dari Bahasa Jawa karena kata “gua” bukan kata ganti tunggal dalam bahasa tersebut. Pun ketika kata “gua” disampaikan dengan logat Jawa kental, menjadi sesuatu yang ganjil karena orang berlogat Jawa kental kebanyakan tidak menggunakan kata “gua” untuk mengacu pada dirinya sendiri.
Nah, kalau buat kamu, apa penuturan Jawakarta terlucu yang pernah kamu dengar?