Prank Berlebihan dan Konten Kosong: Hiburan atau Racun Digital?

Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
Prank Berlebihan dan Konten Kosong: Hiburan atau Racun Digital?
ilustrasi alat yang sering digunakan ngonten (pexels/Markus Winkler)

Ada yang bilang, hiburan itu hak semua orang. Tapi kalau hiburannya isinya cuma prank basi, toxic challange, atau settingan drama, apakah itu masih bisa disebut hiburan? Kita hidup di zaman di mana apa pun bisa menjadi konten. Sayangnya, banyak konten yang sama sekali tidak mendidik. Tak jarang membodohi penontonnya. Fenomena ini muncul bukan hanya karena kreatornya kurang inovatif, tetapi juga karena audiensnya, ya, kita semua, yang diam-diam menikmati konten semacam itu.

Platform media sosial sekarang penuh dengan konten prank. Dari yang lucu-lucuan ringan sampai prank keterlaluan yang berujung air mata. Sebut saja prank pura-pura melamar pacar atau membuang barang milik teman untuk "dijadikan kejutan." Alih-alih menghibur, prank semacam ini sering kali malah merugikan korban dan meninggalkan trauma. Ironisnya, konten semacam ini terus bermunculan karena masih ada yang rela menonton, dan parahnya, ada yang tertawa.

Lalu, apa yang salah? Salah satu penyebabnya adalah algoritma. Media sosial saat ini bekerja seperti cermin dari kebiasaan pengguna. Kalau kita sering menonton lelucon atau tantangan konyol, algoritma akan berpikir, "Oh, kamu suka ini," lalu menyajikan lebih banyak konten serupa. Akhirnya, tanpa disadari, kita terjebak dalam lingkaran konsumsi konten yang semakin dangkal. Ditambah lagi, para kreator terus memproduksi konten serupa demi "views" dan "likes." Sungguh siklus yang melelahkan.

Kecanduan ini semakin diperparah dengan pengaruh budaya FOMO (Fear of Missing Out). Banyak orang takut Disebut "nggak update" kalau nggak ikut menonton video viral terbaru. Padahal, video itu sering kali hanya menampilkan tingkah laku yang, kalau dipikir-pikir, nggak ada manfaatnya sama sekali. Budaya ini menjadikan masyarakat, terutama generasi muda, lebih menghargai popularitas dibandingkan kualitas.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab? Pencipta? Penonton? Atau platform itu sendiri? Jawabannya adalah semua pihak. Kreator perlu lebih bertanggung jawab dalam mempertimbangkan dampak konten yang mereka buat. Penonton juga perlu lebih memilih apa yang ingin mereka konsumsi. Dan platformnya? Jangan cuma fokus mengejar keuntungan, tapi juga harus memperhatikan kualitas konten yang disebarkan.

Namun, semua ini kembali pada diri kita masing-masing. Sebelum menekan tombol "play" atau "subscribe", coba tanyakan pada diri sendiri: apa yang saya dapat dari menonton ini? Apakah konten ini membuat saya lebih pintar, lebih bahagia, atau malah lebih kosong? Karena pada akhirnya, hiburan yang tidak mendidik itu seperti junk food bagi otak—rasanya enak sesaat, tapi merusak dalam jangka panjang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak