Bagaimana jika di masa depan manusia bisa diduplikasi dengan cara diprint? Konsep ini menjadi dasar dari 'Mickey 17', film terbaru Bong Joon Ho yang kembali setelah enam tahun dengan sebuah satir politik berkedok fiksi ilmiah.
Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengikat dan memantik diskusi seru mengenai eksplorasi planet, kolonialisme, serta kesenjangan kelas sosial.
Berlatar tahun 2054 saat bumi tak lagi layak dihuni, cerita berpusat pada Mickey Barnes (Robert Pattinson), seorang pria yang terjebak dalam utang dan mencari cara untuk kabur dari debt collector.
Demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ia mendaftar dalam misi eksplorasi ke planet baru yang disebut Niflheim. Tanpa ia sadari, pekerjaannya ternyata sangat tidak manusiawi: ia dijadikan Expendable, kelinci percobaan yang harus menjalankan tugas-tugas berbahaya.
Jika ia mati, tubuhnya akan dicetak ulang dengan memori dan kesadaran yang sebagian besar tetap utuh. Dan ini terus berulang tanpa akhir.
Demi menjelaskan dunia yang kompleks ini, 'Mickey 17' mengandalkan eksposisi yang membuat paruh awalnya terasa lambat. Namun, begitu konsep cetak ulang manusia dan dampak moralnya mulai terungkap, cerita langsung melaju cepat.
Konflik utama muncul ketika Mickey tanpa sengaja diduplikasi padahal ia belum mati, sehingga kini ada dua Mickey yang eksis dalam satu waktu. Hal ini menciptakan dinamika yang menarik sekaligus menimbulkan pertanyaan etis tentang identitas dan keberadaan manusia.
Dua versi Mickey ini menjadi salah satu daya tarik utama filmnya. Mickey yang satu adalah tipikal 'yes man' yang selalu menurut dan menghindari konflik, sementara yang satunya lebih pemberontak dan tak segan melakukan tindakan ekstrem demi bertahan hidup.
Interaksi mereka sering kali kocak, seperti kakak-adik yang terus berantem. Namun, ada juga momen manis, terutama ketika Nasha (Naomi Ackie), kekasih Mickey, dengan setia melindungi mereka berdua.
Robert Pattinson menunjukkan akting luar biasa dalam memerankan dua versi Mickey yang memiliki perbedaan mencolok dalam sikap, gestur, hingga intonasi suara.
Perannya menggambarkan bagaimana sistem kapitalisme dan kolonialisme sering kali memperlakukan individu sebagai alat yang bisa digunakan dan dibuang begitu saja.
Selain Pattinson, Mark Ruffalo dan Toni Collette juga tampil mencuri perhatian sebagai pemimpin otoriter Kenneth Marshall dan istrinya, Ylfa.
Marshall adalah kombinasi antara pemimpin populis dan televangelist yang memanipulasi rakyatnya, sementara Ylfa adalah sosok narsis, temperamental, dan egois yang lebih peduli pada barang mahal ketimbang nyawa manusia.
Selain performa para aktornya, 'Mickey 17' juga memukau dari segi produksi. Bong Joon Ho dengan cermat membangun dunia futuristik yang penuh dengan detail menarik.
Dari desain pesawat luar angkasa hingga lanskap Niflheim yang dipenuhi oleh makhluk asli planet itu, semua tampak megah dan imersif. Sentuhan warna yang tiba-tiba muncul dalam latar yang muram menciptakan kontras visual yang kuat.
Namun, meskipun film ini memiliki banyak keunggulan, ada beberapa aspek yang bisa lebih disempurnakan. Satir politik dan kritik sosial yang disampaikan sering kali terasa terlalu eksplisit, seolah tidak memberi ruang bagi penonton untuk menafsirkannya sendiri.
Beberapa elemen filosofis tentang eksistensi manusia juga tertutup oleh komedi yang terkadang terlalu berlebihan.
Jika keseimbangan antara humor dan pesan sosialnya lebih terjaga, 'Mickey 17' bisa menjadi lebih tajam dalam menyampaikan kritiknya.
Terlepas dari itu, 'Mickey 17' tetap menjadi tontonan yang luar biasa. Bong Joon Ho kembali membuktikan kepiawaiannya dalam menyajikan cerita yang penuh makna, dikemas dengan gaya visual yang unik dan karakter-karakter yang kuat.
Film ini bukan hanya tentang eksplorasi luar angkasa atau teknologi masa depan, tetapi juga refleksi tajam tentang bagaimana masyarakat memperlakukan individu-individu yang dianggap tidak penting.
Jadi, apakah manusia benar-benar bisa memiliki kendali atas hidupnya sendiri, atau hanya menjadi produk yang bisa dicetak ulang sesuai kebutuhan?
'Mickey 17' menawarkan pengalaman sinematik yang menantang dan menghibur, sekaligus mengajak kita berpikir lebih dalam tentang nilai kemanusiaan dalam sistem yang semakin tidak manusiawi.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE