Pendidikan gratis di sekolah negeri seharusnya menjadi hak semua anak. Tapi kenyataannya, masih banyak orang tua yang harus mengeluarkan biaya tambahan dengan berbagai alasan.
Kasus dugaan pungutan liar di SMPN 1 Paliyan, Gunungkidul, seperti yang dilaporkan Suara.com, menjadi bukti bahwa praktik ini masih terjadi, bahkan di sekolah yang seharusnya tidak memungut biaya sepeser pun.
![Tanda bukti dugaan pungutan di SMPN 1 Paliyan. [kontributor/julianto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/10/92514-tanda-bukti-dugaan-pungutan-di-smpn-1-paliyan.jpg)
Melansir laporan tersebut, orang tua murid mengeluhkan adanya pungutan ratusan ribu rupiah yang dilakukan oleh komite sekolah.
Awalnya disebut sumbangan sukarela, tapi pada praktiknya, nominalnya sudah ditentukan dan terasa seperti kewajiban. Bagi sebagian orang tua, mungkin angka itu tidak terlalu berat. Tapi bagaimana dengan mereka yang ekonominya pas-pasan?
Hal seperti ini bukan kasus baru. Di berbagai daerah, pungutan liar di sekolah sering dikeluhkan. Alasannya selalu sama: dana operasional dari pemerintah tidak cukup.
Sekolah akhirnya mencari cara lain untuk menutup kekurangan, dan orang tua yang jadi korban. Apakah alasan ini bisa diterima? Mungkin ada benarnya, tapi tetap saja, seharusnya orang tua tidak dipaksa membayar di luar ketentuan resmi.
Hal yang lebih parah, praktik ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan. Bagaimana bisa sekolah negeri disebut gratis kalau setiap tahun selalu ada pungutan tambahan?
Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan bagi anak-anak untuk meraih masa depan lebih baik, justru menjadi beban bagi orang tua yang sudah berjuang keras agar anak-anak mereka tetap sekolah.
Selain jadi masalah finansial, pungutan liar juga menciptakan kesenjangan sosial. Anak dari keluarga yang mampu mungkin tidak akan merasakan dampaknya, tapi bagaimana dengan mereka yang penghasilannya pas-pasan?
Tidak sedikit orang tua yang akhirnya berutang, atau bahkan terpaksa menarik anaknya dari sekolah karena tak sanggup membayar pungutan yang katanya "sukarela" tapi terasa wajib.
Pemerintah sebenarnya sudah mengalokasikan dana untuk sekolah negeri melalui program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kalau pengelolaannya benar-benar transparan, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi sekolah untuk meminta pungutan tambahan.
Masalahnya, pengawasan terhadap anggaran pendidikan masih lemah, sehingga celah untuk pungutan liar tetap ada.
Pendidikan gratis bukan sekadar janji manis yang terus digaungkan tanpa realisasi. Jikalau sekolah negeri benar-benar dibiayai oleh negara, maka tidak seharusnya ada pungutan yang membebani orang tua, apalagi dengan dalih yang dibuat-buat.
Pemerintah tidak bisa hanya berdiam diri atau sekadar memberi peringatan tanpa tindakan nyata. Jika serius ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, sistem pendidikan harus dibersihkan dari praktik semacam ini.
Sekolah wajib transparan dalam mengelola dana, dan masyarakat tidak boleh dibiarkan bungkam ketika hak anak-anak mereka dirampas.
Jangan sampai impian pendidikan yang adil dan merata justru hancur oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan di tempat yang seharusnya menjadi ruang belajar, bukan ladang bisnis terselubung.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS