kolom

Kesejahteraan Psikologis Guru Honorer, Solusi atau Ilusi?

Kesejahteraan Psikologis Guru Honorer, Solusi atau Ilusi?
Ilustrasi guru honorer (pexels/Andrea Piacquadio)

Yoursay.id - Kesejahteraan psikologis menjadi topik yang semakin relevan dalam pembahasan mengenai kualitas hidup, terutama bagi mereka yang berada di sektor pendidikan. Di Indonesia, masalah kesejahteraan guru honorer telah menjadi perhatian yang tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga mempengaruhi kondisi mental dan emosional mereka.

Dalam artikel yang dipublikasikan di Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, penelitian Fian Rizkyan Surya Pambuka dan Sri Lestari (2024) menyajikan temuan penting yang menggambarkan hubungan antara dukungan sosial, kebersyukuran, ketangguhan, dan kesejahteraan psikologis guru honorer. Meskipun studi ini memberikan wawasan penting tentang dinamika kesejahteraan psikologis guru honorer, terdapat beberapa aspek yang patut dikritisi dan dipertimbangkan lebih lanjut.

Menurut laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) 2023, gaji guru di Indonesia termasuk salah satu yang terendah di dunia. Hal ini menjadi lebih parah bagi guru honorer yang bekerja tanpa jaminan stabilitas pekerjaan atau penghasilan yang memadai. Di banyak daerah, guru honorer masih menerima gaji yang jauh di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR), dengan angka yang berkisar antara Rp. 300.000 hingga Rp. 800.000 per bulan.

Situasi ini menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan secara finansial. Meskipun demikian, tekanan ekonomi ini hanya sebagian dari masalah yang dihadapi oleh guru honorer. Masalah yang lebih dalam adalah dampak sosial dan psikologis yang muncul akibat ketidakpastian status pekerjaan dan gaji yang tidak sebanding dengan tanggung jawab yang mereka pikul.

Studi ini menyoroti fakta bahwa rendahnya kompensasi bagi guru honorer mengarah pada penurunan tingkat kepuasan kerja yang signifikan. Kepuasan kerja yang rendah ini, pada gilirannya, berhubungan langsung dengan kesejahteraan psikologis yang semakin menurun. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun guru honorer memiliki akses terhadap dukungan sosial dari rekan kerja dan masyarakat, dukungan ini tidak cukup untuk mengatasi tantangan psikologis yang mereka hadapi.

Namun, di sinilah penelitian ini mulai menunjukkan sesuatu yang penting. Penulis menekankan bahwa kesejahteraan psikologis bukan hanya ditentukan oleh faktor eksternal seperti gaji atau status pekerjaan. Ada faktor internal yang berperan penting dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis seseorang, yaitu sikap kebersyukuran dan ketangguhan.

Kebersyukuran sebagai Faktor Penguat Kesejahteraan Psikologis

Kebersyukuran, sebagai salah satu mediator dalam penelitian ini, digambarkan sebagai elemen yang sangat penting dalam menciptakan kesejahteraan psikologis. Penulis menekankan bahwa meskipun guru honorer menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan, sikap bersyukur terhadap pekerjaan dan kehidupan mereka dapat membantu memperbaiki pandangan mereka terhadap situasi tersebut. Konsep kebersyukuran ini tidak hanya berlaku untuk guru honorer, tetapi juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari siapa saja yang menghadapi tantangan besar.

Namun, pertanyaannya adalah apakah kebersyukuran cukup untuk mengatasi masalah yang lebih mendalam, seperti tekanan finansial dan ketidakpastian karier? Kebersyukuran memang dapat meningkatkan rasa puas terhadap hidup, tetapi apakah itu bisa mengubah struktur sosial dan ekonomi yang menekan guru honorer? Meskipun kebersyukuran dapat membantu seseorang bertahan dalam situasi sulit, hal ini tidak serta merta mengatasi akar masalahnya.

Dalam konteks guru honorer, kebersyukuran mungkin hanya memberikan efek jangka pendek yang mengurangi rasa frustrasi, namun tidak menyelesaikan masalah struktural yang lebih besar, seperti ketidakadilan dalam sistem kompensasi dan ketidakpastian status pekerjaan.

Kebersyukuran, dalam arti yang lebih luas, sering kali digunakan sebagai alat untuk mengatasi ketidakpuasan hidup dalam masyarakat yang tidak mengutamakan kesejahteraan individu. Tetapi ketika kebersyukuran dijadikan solusi utama tanpa perbaikan kondisi sosial dan ekonomi yang mendalam, maka kebersyukuran bisa saja berfungsi sebagai pengalihan perhatian dari masalah yang lebih besar.

Dalam hal ini, pendekatan yang lebih kritis terhadap penggunaan kebersyukuran sebagai mediator kesejahteraan psikologis perlu dikembangkan, karena tanpa perubahan struktural, kebersyukuran mungkin hanya menjadi mekanisme bertahan hidup, bukan solusi jangka panjang.

Ketangguhan: Antara Mentalitas Positif dan Kelemahan Struktur Sosial

Ketangguhan atau resilience juga digambarkan sebagai mediator penting dalam penelitian ini. Ketangguhan merujuk pada kemampuan untuk bangkit kembali setelah menghadapi kesulitan atau kegagalan. Bagi guru honorer, ketangguhan menjadi kunci untuk bertahan dalam tekanan yang terus-menerus, baik dari sisi pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka. Penulis menyarankan agar guru honorer mengembangkan ketangguhan ini melalui pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi stres dan tekanan hidup.

Namun, kita juga perlu bertanya, apakah ketangguhan yang diminta ini dapat mengatasi masalah yang lebih dalam, yaitu ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang melekat pada profesi guru honorer? Ketangguhan memang bisa membantu individu untuk mengatasi kesulitan dan bertahan dalam kondisi yang tidak ideal. Namun, ketangguhan yang ditekankan dalam penelitian ini tampaknya lebih berfokus pada adaptasi individu terhadap kondisi yang sudah ada, tanpa menawarkan solusi untuk merombak sistem yang menyebabkan kesulitan tersebut.

Salah satu kritik utama terhadap konsep ketangguhan adalah bahwa sering kali ketangguhan diposisikan sebagai alat untuk menghadapi ketidakadilan, tanpa ada upaya untuk memperbaiki ketidakadilan itu sendiri. Dalam hal ini, guru honorer diajarkan untuk lebih tangguh dalam menghadapi ketidakpastian hidup dan pekerjaan, sementara masalah mendasar seperti kompensasi yang rendah dan ketidakpastian status pekerjaan tetap tidak tersentuh.

Jika ketangguhan hanya digunakan sebagai cara untuk beradaptasi dengan kondisi yang sudah buruk, maka hal ini bisa menimbulkan ketidakadilan ganda, di mana guru honorer merasa harus terus bertahan meskipun kondisi yang dihadapi sangat tidak memadai.

Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah perlunya pengembangan program pelatihan untuk meningkatkan kebersyukuran dan ketangguhan guru honorer. Program semacam ini memang penting, tetapi jika hanya berfokus pada aspek psikologis individu tanpa memperhatikan perubahan sistem yang lebih luas, maka program ini hanya akan menjadi pelengkap semata. Apa yang dibutuhkan guru honorer adalah keseimbangan antara dukungan psikologis dan perubahan struktural yang nyata dalam sistem pendidikan.

Pendidikan di Indonesia membutuhkan perhatian lebih besar terhadap kesejahteraan para pendidiknya. Tidak hanya guru honorer, tetapi juga guru tetap yang sering kali menghadapi masalah serupa dalam hal kompensasi dan kondisi kerja. Program pelatihan yang disarankan oleh penelitian ini seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan mentalitas individu, tetapi juga mengajak masyarakat dan pemerintah untuk lebih peduli terhadap perbaikan kondisi sosial dan ekonomi guru. Tanpa adanya perubahan struktural yang signifikan, kesejahteraan psikologis guru honorer akan terus terabaikan meskipun mereka memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka.

Dalam jangka panjang, solusi terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis guru honorer adalah dengan memperbaiki gaji dan kondisi kerja mereka. Peningkatan kesejahteraan fisik dan sosial akan memberikan dampak yang jauh lebih besar bagi kesejahteraan psikologis mereka dibandingkan dengan hanya mengandalkan program pelatihan yang bersifat psikologis.

Kesejahteraan psikologis guru honorer, oleh karena itu, membutuhkan pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya mengandalkan peningkatan sikap mental, tetapi juga memerlukan upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan itu sendiri.

Rion Nofrianda

Rion Nofrianda

Berbagilah, Kisah Kita Tak Sama

Total Artikel 314

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda