Dalam kehidupan perkuliahan, mahasiswa dihadapkan dengan berbagai tantangan yang tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga psikologis.
Penelitian yang dilakukan oleh Azizy dan Putri (2024), yang dipublikasikan dalam Jurnal Psikologi, mengungkapkan sebuah fenomena yang tak kalah penting, stres yang dialami mahasiswa Indonesia, baik itu berupa kecemasan, depresi, maupun tekanan sosial.
Meskipun banyak layanan kesehatan mental tersedia di kampus, kenyataannya banyak mahasiswa yang tidak memanfaatkan layanan ini dengan optimal.
Salah satu alasannya adalah stigma yang masih melekat pada masalah kesehatan mental, yang mendorong mahasiswa untuk memilih menghadapinya dengan cara mereka sendiri.
Kehidupan kampus yang idealnya menjadi tempat untuk berkembang dan belajar, pada kenyataannya juga menjadi medan perang bagi banyak mahasiswa dalam menghadapi stres.
Tekanan akademik yang terus meningkat, ditambah dengan masalah sosial dan emosi yang datang dengan kehidupan perkuliahan, membuat mereka sering merasa terjebak dalam ketidakpastian.
Namun, daripada memanfaatkan layanan kesehatan mental yang ada, banyak mahasiswa lebih memilih untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang sering kali tidak efektif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi lebih mudah mengakses layanan dukungan psikologis, sedangkan mahasiswa dengan latar belakang sosial-ekonomi rendah cenderung menghindarinya karena berbagai alasan, seperti kurangnya pengetahuan tentang layanan tersebut atau stigma yang melekat pada mereka yang mencari bantuan profesional.
Fenomena ini menyoroti masalah mendasar dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Meskipun terdapat upaya untuk menyediakan layanan psikologis di kampus, keterbatasan akses dan informasi membuatnya tidak sepenuhnya efektif.
Stigma yang melekat pada kesehatan mental juga menjadi hambatan besar yang seharusnya bisa diatasi dengan pendekatan yang lebih terbuka.
Mengapa stigma terhadap masalah kesehatan mental begitu kuat? Mungkin, ini terkait dengan norma sosial yang menilai orang yang mencari bantuan psikologis sebagai "lemah" atau "tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri."
Padahal, sebenarnya, mencari bantuan adalah langkah yang berani dan penting untuk menjaga kesejahteraan psikologis.
Selain itu, faktor gender juga berperan besar dalam memilih strategi koping. Penelitian Azizy dan Putri menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung menggunakan strategi koping berbasis emosi, seperti mencari dukungan sosial atau berbicara dengan orang lain, sementara laki-laki cenderung lebih menghindari masalah sosial dan lebih pragmatis dalam menghadapi stres.
Fenomena ini menunjukkan betapa besar pengaruh konstruksi sosial terhadap cara setiap individu menghadapinya. Laki-laki yang seharusnya bisa lebih terbuka dalam berbicara mengenai masalah emosional seringkali terhambat oleh norma-norma gender yang menganggap mereka harus "kuat" dan tidak menunjukkan kelemahan.
Dalam hal ini, masyarakat perlu mengubah pandangannya terhadap peran gender, khususnya dalam konteks kesejahteraan mental, agar lebih mendukung mahasiswa dalam mengelola stres mereka dengan cara yang sehat.
Selain itu, faktor usia juga memengaruhi cara mahasiswa dalam menangani stres. Mahasiswa yang lebih tua, dengan pengalaman hidup yang lebih banyak, cenderung memiliki kemampuan lebih untuk mengelola emosi mereka secara lebih rasional dan pragmatis.
Namun, mahasiswa yang lebih muda, yang masih dalam tahap menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus, sering kali lebih rentan terhadap stres emosional.
Ini menunjukkan bahwa universitas perlu memberikan dukungan yang lebih terstruktur bagi mahasiswa baru, seperti program orientasi yang tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga pada pengembangan keterampilan koping yang sehat.
Meski demikian, ada juga aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan akses ke layanan kesehatan mental. Kampus seharusnya tidak hanya menyediakan layanan kesehatan mental, tetapi juga memastikan bahwa layanan tersebut dapat dijangkau oleh semua kalangan mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi rendah.
Jika akses terbatas, maka mahasiswa yang membutuhkan justru akan merasa teralienasi dan tidak memiliki tempat untuk mengungkapkan kesulitan yang mereka alami.
Jika pemerintah dan kampus tidak secara serius mengatasi masalah ini, maka predikat mahasiswa sebagai generasi penerus yang sehat secara mental akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, penting untuk mengatasi hambatan akses ini, baik dengan memperluas jangkauan layanan kesehatan mental maupun dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dukungan psikologis sejak awal kehidupan kampus.
Namun, yang lebih penting dari sekadar menyediakan layanan adalah bagaimana menciptakan budaya kampus yang lebih mendukung kesehatan mental.
Kampus harus menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk berbicara tentang masalah mereka tanpa takut akan dicap sebagai orang yang lemah.
Di sinilah peran pendidikan mental yang lebih baik, baik dalam bentuk kampanye kesadaran atau kursus tentang pengelolaan stres dan kesehatan mental. Tanpa ini, mahasiswa yang menghadapi masalah psikologis akan terus berjuang sendirian, memperburuk situasi mereka.
Secara keseluruhan, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa faktor demografis, seperti status sosial-ekonomi, gender, dan usia, sangat memengaruhi bagaimana mahasiswa mengatasi stres.
Penting bagi kita untuk tidak hanya melihat masalah ini sebagai isu individu, tetapi juga sebagai masalah sistemik yang memerlukan perhatian lebih dari lembaga pendidikan tinggi dan masyarakat.
Jika kita ingin melihat mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga sehat secara mental, maka perubahan dalam pendekatan terhadap kesehatan mental di kampus sangatlah penting.
Sudah saatnya kita berhenti memandang masalah kesehatan mental sebagai sesuatu yang tabu dan mulai menyediakan ruang yang lebih aman dan terbuka bagi mahasiswa untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS