Salah Paham Demokrasi: Hak Bebas Berpendapat Bukan Alasan untuk Asbun

Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Salah Paham Demokrasi: Hak Bebas Berpendapat Bukan Alasan untuk Asbun
Ilustrasi kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi (Freepik/freepik)

Di zaman sekarang, semua orang punya kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya. Media sosial, forum diskusi, dan kolom komentar menjadi ruang terbuka di mana siapa pun bisa berbicara. Namun, sering kali kebebasan ini disalahartikan.

Banyak yang merasa bahwa selama mereka punya hak berbicara, mereka bisa mengatakan apa saja tanpa mempertimbangkan kebenaran atau konsekuensinya. Akibatnya, muncul banyak komentar dan opini yang lebih didasarkan pada emosi daripada logika.

Salah satu masalah terbesar dalam demokrasi adalah kesalahpahaman bahwa setiap pendapat itu sama berharganya, tanpa melihat apakah pendapat itu berdasarkan fakta atau tidak. Seseorang bisa dengan mudah memberikan komentar tajam terhadap suatu isu tanpa memahami konteksnya. 

Ketika dikritik atau dibantah dengan argumen yang lebih kuat, bukannya introspeksi atau berdiskusi lebih jauh, banyak yang justru memilih untuk defensif dan berlindung di balik kalimat, “Ini hak saya untuk berpendapat.” Seolah-olah hak berbicara berarti kebal dari konsekuensi.

Padahal, kebebasan berbicara bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Jika sebuah opini salah atau menyesatkan, itu bisa berdampak besar, terutama di era informasi menyebar dengan cepat seperti sekarang. 

Tanpa adanya kesadaran untuk memilah informasi dan berpikir kritis sebelum berbicara, ruang diskusi yang seharusnya sehat malah berubah menjadi tempat yang penuh dengan asumsi, misinformasi, dan debat yang tidak produktif.

Algoritma media sosial juga memperparah situasi ini. Banyak orang hanya disajikan informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, menciptakan ruang gema yang memperkuat keyakinan mereka tanpa membuka ruang untuk perspektif lain. 

Akibatnya, bukan hanya orang menjadi semakin yakin dengan pendapatnya, tetapi mereka juga semakin sulit menerima kritik atau perbedaan pendapat.

Perdebatan yang seharusnya bisa menjadi ajang bertukar pikiran malah berubah menjadi ajang saling serang tanpa arah.

Demokrasi yang sehat bukan hanya soal berbicara, tetapi juga soal mendengar dan berpikir kritis. Kebebasan berpendapat tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan tanggung jawab untuk mencari tahu dan memahami sebelum berbicara.

Sekiranya setiap orang mau meluangkan waktu untuk membaca lebih banyak, memeriksa fakta, dan mempertimbangkan sudut pandang lain sebelum mengomentari sesuatu, maka diskusi akan jauh lebih bermutu.

Pada akhirnya, memiliki hak untuk berbicara tidak berarti bisa asal bicara. Setiap pendapat memang berhak disampaikan, tetapi juga harus siap dipertanyakan dan diuji kebenarannya.

Demokrasi akan lebih bermakna jika digunakan untuk membangun pemahaman bersama, bukan sekadar ajang menunjukkan siapa yang paling keras suaranya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak