Pacaran adalah sebuah fenomena yang sering dianggap sebagai hal biasa dalam kehidupan modern, ternyata pacaran memiliki arti yang dalam dari sejarah sosial dan biologis manusia. Dari zaman ke zaman, makna dan cara pandang terhadap pacaran telah mengalami banyak perubahan.
Pada akhirnya, pacaran menjadi bagian dari kehidupan sosial yang lebih kompleks, diwarnai oleh interaksi antara sosiologi, psikologi, dan bahkan sains. Apa sebenarnya yang terjadi ketika kita berbicara soal pacaran? Apakah itu sekedar tradisi sosial yang dikonstruksi, ataukah ada kebutuhan biologis yang mendasari perasaan itu?
Sejarah Awal Pacaran
Dalam sejarah awal peradaban manusia, fungsi utama perempuan sering kali direduksi menjadi alat reproduksi. Di masyarakat pra-agraris, perempuan dipandang sebagai penambah populasi, sementara laki-laki berfungsi sebagai pemburu dan pelindung, yang secara ironis juga menjadi pengurang populasi, melalui praktik kekerasan dan perang.
Dalam kehidupan sosial yang brutal dan survivalistik, tubuh perempuan menjadi medan perebutan rentan terhadap kekerasan seksual, perbudakan, dan eksploitasi.
Untuk mengatasi kerentanan tersebut, muncullah lembaga pernikahan. Pada mulanya, pernikahan adalah bentuk perjanjian sosial yang dirancang bukan sebagai bentuk cinta romantik, melainkan sebagai sistem pengamanan: menjaga hak milik, melindungi tubuh perempuan, dan memastikan garis keturunan. Di luar lembaga ini, aktivitas seksual dianggap sebagai bentuk penyimpangan dan mulai dilabeli sebagai pelacuran.
Dalam sistem patriarki yang berkembang seiring lahirnya agrikultur dan masyarakat menetap, posisi perempuan makin terpinggirkan.
Sosiolog Sylvia Walby (1990) menjelaskan bahwa patriarki tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga, tapi merambah ke ekonomi, negara, dan institusi sosial lain. Perempuan dianggap beban karena secara ekonomi tidak menghasilkan (secara langsung), padahal mereka juga ikut menikmati hasil dari kerja laki-laki.
Ketika lembaga pernikahan mengalami transformasi menjadi bentuk trading, perempuan diperlakukan seperti komoditas. Mereka dinilai berdasarkan harga, baik berupa mas kawin, status sosial, maupun kecantikan.
Tradisi ini berlangsung hingga era pra-modern, ketika pernikahan dini dianggap ideal begitu perempuan mengalami menstruasi, ia dianggap siap menjadi alat reproduksi.
Namun semua ini mulai bergeser drastis ketika manusia memasuki zaman revolusi industri dan modernisme. Teknologi, pendidikan, dan kesadaran manusia berubah.
Perempuan mulai menuntut pendidikan, hak kerja, dan otonomi tubuh. Dalam masa ini juga mulai lahir praktik yang kita kenal sekarang sebagai pacaran. Yaitu suatu proses pendekatan sebelum pernikahan.
Pacaran dalam Kacamata Sains
Secara ilmiah, pacaran sering diasosiasikan dengan proses neurobiologis yang rumit. Di fase awal hubungan romantik, tubuh manusia memproduksi hormon seperti dopamin, serotonin, dan phenylethylamine (PEA), yang menciptakan sensasi euforia dan keterikatan intens.
Antropolog Helen Fisher (2004) dalam bukunya Why We Love, menjelaskan bahwa fase ini biasanya hanya berlangsung selama 12–24 bulan. Setelah itu, jika hubungan dilanjutkan, perasaan cinta yang semula bergelora akan digantikan oleh hormon ikatan jangka panjang seperti oksitosin dan vasopressin.
Hal ini menjadi problematik ketika masa pacaran berlangsung terlalu lama. Banyak pasangan mengalami kejenuhan bahkan sebelum masuk pernikahan, karena fase euforia cinta telah habis.
Akibatnya, muncul fenomena seperti, “kamu kok berubah sejak nikah,” padahal kenyataannya, mereka tak pernah benar-benar mengenal satu sama lain dalam kondisi realistis. Mereka terlalu lama hidup dalam romantisasi dan ilusi hormon.
Di sisi lain, pacaran juga tidak luput dari bias sosial dan budaya. Revolusi seksual pada 1960-an mengubah cara pandang manusia terhadap seks dan cinta.
Jika sebelumnya hubungan seksual selalu diikat oleh pernikahan dan tujuan reproduktif, maka di era ini, seks menjadi hak pribadi, bagian dari ekspresi diri. Alat kontrasepsi, pornografi, dan budaya individualisme semakin menjauhkan hubungan seksual dari fungsi biologis awalnya.
Akibatnya, banyak hubungan pacaran di zaman sekarang tidak lagi bertujuan untuk saling mengenal sebelum menikah, tapi menjadi tempat pelampiasan hasrat, pelarian dari kesepian, dan bentuk pelumas emosional dalam kehidupan modern yang serba cepat.
Psikolog Zygmunt Bauman menyebut fenomena ini sebagai liquid love atau cinta yang cair, cepat menguap, dan tidak lagi memiliki ikatan struktural yang kuat.
Apakah Pacaran itu Penting?
Dengan memahami lanskap sejarah dan sains yang mengiringi praktik pacaran, muncul pertanyaan kritis. Yaitu, apakah pacaran seperti yang kita kenal hari ini masih relevan?
Pertama, jika pacaran hanya menjadi tempat pemuasan hasrat dan pelampiasan psikologis sementara, maka itu bertentangan dengan tujuan awalnya, yaitu sebagai jembatan menuju kehidupan pernikahan yang matang dan penuh kesadaran. Pacaran yang diselimuti euforia justru akan membuat pasangan buta terhadap kenyataan pahit setelah menikah.
Kedua, jika pacaran dijalani terlalu lama, maka kemungkinan besar hormon cinta sudah habis sebelum memasuki fase rumah tangga. Ini berpotensi menciptakan kebosanan, kejenuhan, dan perasaan dikhianati karena pasangan tidak lagi sehangat saat pacaran.
Sementara pernikahan, sebagai ikatan jangka panjang, justru membutuhkan kerja sama, pengorbanan, dan kesabaran sesuatu yang hanya bisa dilatih jika pacaran dijalani secara sadar dan terbatas.
Ketiga, dalam konteks masyarakat modern yang semakin individualis, perempuan kini mampu menjadi subjek otonom. Mereka tidak lagi memerlukan pernikahan sebagai sistem proteksi, melainkan sebagai pilihan kesetaraan.
Oleh karena itu, pacaran sebagai media seleksi partner hidup perlu dikembalikan pada akarnya, yaitu pendekatan karakter, bukan pelampiasan emosi dan seksualitas.
Penutup
Pacaran bukanlah produk budaya yang netral. Ia adalah hasil dari evolusi sejarah, biologi, dan sistem nilai yang terus berubah.
Ketika kita memaknai pacaran hanya sebagai pemuas rasa kangen, hasrat, atau eksistensi sosial, maka kita gagal melihat bahwa cinta seharusnya menjadi ruang pertumbuhan dua insan, bukan ruang pelarian dua ego.
Mengembalikan pacaran pada fungsinya sebagai tahap pengenalan sebelum menikah adalah salah satu langkah filosofis paling revolusioner hari ini. Dalam dunia yang penuh ilusi dan disrupsi cinta, memilih untuk sadar justru menjadi bentuk perlawanan paling mendalam.
“To love is not to look at each other, but to look together in the same direction.” – Antoine de Saint-Exupéry.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS