Sekecil-kecilnya perjuangan, tetap sebuah perjuangan. Kritik sosial yang diungkapkan lewat lagu 'Di Udara' karya band Efek Rumah Kaca paling cocok menjadi anthem yang berkumandang menemani perjuangan rakyat sipil Indonesia di tengah huru-hara perlawanan melawan hukum yang tidak berpihak pada masyarakat dewasa ini.
Lagu ini adalah track ketujuh dalam album bertajuk Efek Rumah Kaca yang rilis pada tahun 2007 silam. Ditulis oleh Cholil Mahmud, karya berdurasi 4 menit 37 detik ini didominasi oleh kord minor serta lirik gamblang yang menampar dengan realita menyedihkan.
Petikan gitar elektrik di intro lagu membawa suasana yang kelam. Begitu suara kick drum masuk di chorus, terdapat sensasi seolah-olah pendengar tengah dikejar oleh sesuatu; ada urgensi dan rasa gelisah yang muncul bersamaan dengan iringan lirik yang menghantui.
Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai di mana kapan
Sebagai lagu yang secara eksplisit menggambarkan nestapa pejuang-pejuang hak kemanusiaan, para penikmat lagu bisa langsung tahu siapa saja tokoh-tokoh yang menjadi referensi dalam lirik di bagian pre-chorus yang secara spesifik menyebutkan beberapa metode untuk 'menghilangkan' sang tokoh utama.
Dalam kolom komentar video musik resmi 'Di Udara' di Youtube, kita bisa menjumpai beberapa nama yang familiar seperti: Munir Said Thalib, Marsinah, WIji Thukul, dan Helmud Hontong (wakil bupati kepulauan Sangihe). Jika mengerti sejarah dan mengikuti berita, pendengar pasti langsung tahu bahwa judul lagu ini adalah tribute untuk Munir yang meninggal di pesawat dalam perjalanannya menuju Belanda dari Indonesia.
[Pre-chorus pertama]
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
[Pre-chorus kedua]
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Dikursilistrikkan ataupun ditikam
Meskipun rasanya terdengar seperti lagu suram yang depresif, uniknya bagian chorus lagu ini memberikan secerah harapan dengan tulisan yang dipenuhi rasa optimisme. 'Naik'nya mood di bagian chorus ini juga tercermin dari bassline dengan variasi ascending dan descending yang terdengar ceria.
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Meski durasi chorus jauh lebih singkat dibandingkan bagian-bagian lain, efek punch line-nya memiliki dampak yang besar kepada keseluruhan lagu; ia bagaikan deklarasi perjuangan yang membuktikan peribahasa 'mati satu tumbuh seribu'. Ketika chorus kembali dimainkan untuk kali kedua dan hingga pengulangan di bagian akhir lagu, variasi hentakan drum yang lebih ramai dan penuh membawa dinamika 'Di Udara' naik menuju klimaks.
Selain dari unsur musikalitasnya, video musik 'Di Udara' juga menjadi karya seni penuh makna yang visualnya menggugah penonton dan penikmat seni. Dengan simbolitas unik, terdapat pula artikel jurnal yang meneliti unsur semiotika dan kajian filosofi dari karya yang disutradarai oleh Adi Cumi ini.
Sebagai lagu yang mengumandangkan perjuangan, 'Di Udara' juga sering dinyanyikan di Aksi Kamisan yang berlangsung setiap hari Kamis di depan Istana Negara dalam rangka menuntut hak bagi para korban pelanggaran HAM oleh negara.
Menjadi suara yang mengungkapkan isi hati rakyat, lagu ini kembali mencuat dalam perbincangan warganet di X akibat keputusan pemerintah mengenai undang-undang dwifungsi ABRI beserta demonstrasi rakyat yang serempak terjadi di berbagai kota di Indonesia. Berbagai tagar dibuat dan menjadi trending sebagai bentuk perlawanan secara virtual, seperti #CabutUUTNI #TolakUUTNI #HapuskanDwifungsiABRI serta #SupremasiSipil.
Melalui karya ini, rakyat memiliki keyakinan besar bahwa perjuangan untuk keadilan HAM akan terus berlanjut. Meskipun dibuat hilang, akan muncul pejuang-pejuang baru yang menyerukan tujuan dan semangat yang sama -jika tidak, justru semakin berkobar- dibandingkan pendahulunya. Panjang umur perjuangan!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS