Kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia. Dari asisten virtual hingga aplikasi penulisan otomatis, AI menawarkan efisiensi dan kemudahan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari.
Namun, di balik kenyamanan itu, muncul pertanyaan yang semakin sering dibahas, apakah ketergantungan terhadap AI berdampak pada penurunan fungsi kognitif manusia?
Kemudahan yang Membuat Kita 'Males Mikir'?

Dulu, mencari jawaban membutuhkan waktu mulai dari membuka buku, berdiskusi, atau menganalisis data. Kini, satu pertanyaan cukup dilontarkan ke ChatGPT, dan jawaban muncul dalam hitungan detik. Tentu ini membantu, tetapi sekaligus menyederhanakan proses berpikir yang sebelumnya menantang otak untuk aktif bekerja.
Fungsi kognitif seperti atensi, ingatan, dan pemecahan masalah terbentuk melalui latihan dan penggunaan terus-menerus. Dikutip dari American Military University (15/08/2024) cara orang menggunakan kemampuan mental mereka dapat memiliki efek jangka panjang pada kinerja kognitif mereka. Ketika AI mengambil alih sebagian besar proses itu, kita secara tidak sadar bisa mulai “menyerahkan” beban kognitif kepada sistem, mengurangi keterlibatan otak secara langsung.
Fenomena Cognitif Offloading

Dalam psikologi, ada istilah bernama cognitive offloading, yaitu kecenderungan untuk mengalihkan beban berpikir ke alat eksternal. Dilansir dari Monitask (09/10/2024) cognitive offloading adalah ketika kita menggunakan kemampuan di luar batas-batas otak kita.
Hal ini merupakan suatu kecenderungan alami manusia yang telah berevolusi dengan teknologi. Misalnya, kita tak lagi menghafal nomor telepon karena semua tersimpan di ponsel. Dalam konteks AI, offloading ini semakin besar mulai dari membuat ringkasan buku, menulis artikel, hingga menghasilkan ide kreatif.
Dalam jangka panjang, terlalu sering melakukan offloading bisa berdampak pada menurunnya memori jangka pendek, melemahnya fokus, serta ketergantungan pada teknologi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sebenarnya bisa dilakukan otak manusia sendiri.
Bukan hanya offloading, penggunaan AI dalam dunia digital juga memperkuat fenomena attention fragmentation yaitu kondisi ketika perhatian kita terpecah karena terlalu banyak sumber informasi. AI yang merespons cepat cenderung mendorong kita melompat dari satu topik ke topik lain tanpa benar-benar mendalami satu hal. Hasilnya? Kita bisa tahu banyak hal secara permukaan, tapi minim pemahaman mendalam.
Kemajuan atau Ancaman?

Pertanyaan besar pun muncul, apakah AI adalah bentuk kemajuan atau justru ancaman terhadap kapasitas berpikir kita?
Jawabannya mungkin tidak hitam putih. AI adalah alat, dan seperti alat lain, dampaknya tergantung pada cara kita menggunakannya. Jika kita hanya mengandalkannya tanpa usaha berpikir mandiri, maka penurunan fungsi kognitif bisa saja terjadi. Namun, jika digunakan sebagai pendukung seperti untuk memperkaya pemahaman, mencari kreativitas, dan mempercepat eksplorasi, penggunaan AI bisa saja memperkuat proses kognitif kita.
Oleh karena itu, literasi digital menjadi suatu hal yang penting ditanamkan terutama kepada anak-anak saat ini. AI mungkin mampu memberi ratusan kata hanya sekali klik, namun kebenaran kata yang dihasilkan belum tentu sesuai dengan fakta. Dari sini kita perlu mencari tahu validitasnya sehingga fungsi kognitif yang kita miliki terus berjalan.
AI akan terus berkembang. Tidak mungkin jika kita ingin lepas sepenuhnya dari penggunaannya. Namun, yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita menggunakannya. Apakah kita menjadi pengguna cerdas yang memanfaatkan AI secara tepat, atau hanya menjadi konsumen pasif yang membiarkan otak kita melemah perlahan?
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS