Ki Hadjar Dewantara: Dari Pejuang Kemerdekaan Menjadi Bapak Pendidikan

Hernawan | ahmad aji
Ki Hadjar Dewantara: Dari Pejuang Kemerdekaan Menjadi Bapak Pendidikan
Potret Ki Hadjar Dewantara (Circa 1955) — (Koleksi istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Andai aku seorang Belanda, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita diberi kemerdekaan.... Andai aku seorang Belanda. Saat ini aku memprotes peringatan itu. Aku Akan mengingatkan kawan-kawanku di koloni, bahwa berbahagialah di waktu ini mengadakan perayaan-perayaan kemerdekaan itu... aku bukan seorang Belanda; aku hanya seorang putra dari negeri ini, seorang pribumi di negeri jajahan Belanda ini; karena itu aku tidak akan protes. (Darsiti 1985)

Sebuah tulisan yang berisi kritikan atas apa yang akan dilakukan oleh Belanda dalam rangka merayakan seratus tahun hari kemerdekaan di daerah jajahannya, hal ini membuat Bapak Pendidikan harus menghadapi masalah yang panjang dengan para penjajah. Bagi para akademisi atau terpelajar khususnya para mahasiswa tidak afdol rasanya apabila belum pernah membaca tulisan yang menjebloskan Bapak Pendidikan ke penjara dan diasingkan oleh penjajah. 

Sebelum aktif di dunia pendidikan, Ki Hadjar adalah seorang aktivis pejuang kemerdekaan. 

Dirinya pernah menjabat sebagai Ketua Sarekat Islam setelah itu menjadi salah satu dari Tiga Serangkai yang membentuk Indische Partij, sebuah organisasi politik berhaluan kebangsaan. Berkat perlawanan yang aktif, ia diasingkan di Pulau Bangka kemudian suatu saat diasingkan ke Belanda.  

Setelah kembali ke Indonesia, Soewardi Soeryaningrat berpindah haluan. Ia tidak lagi seaktif dulu di organisasi politik untuk meraih kemerdekaan melainkan menempuh jalur pendidikan.

Ia menyampaikan beberapa ide kepada para tokoh masyarakat saat itu salah satunya ialah Soejopranoto mengenai keinginan dirinya untuk membentuk sebuah lembaga pendidikan yakni sekolah untuk rakyat. Ide tersebut disetujui oleh Soejopranoto sekaligus memberikan alat untuk menunjang belajar dan beberapa muridnya untuk membantu dan belajar bersama Soewardi. 

Pada 3 Juli 1922 lembaga pendidikan yang didirikan oleh Soewardi tercatat sebagai sejarah dan menjadi cikal bakal perguruan taman siswa, ini merupakan akar dari pendidikan di Indonesia. Dalam mempertahankan Taman siswa, Ia harus menerima komentar-komentar negatif yang disampaikan oleh masyarakat, tak tanggung-tanggung taman siswa difitnah sebagai lembaga pendidikan yang menganut ideologi komunis sehingga harus dihanguskan. 

Semakin berjalannya waktu, Taman Siswa terus berkembang dan tersebar di Indonesia khususnya di pulau jawa, untuk memudahkan koordinasi Soewardi mengadakan sebuah kongres taman siswa yang diadakan untuk membahas persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia.

Hal inilah menjadi salah satu pembeda sekolah milik Belanda dengan Taman siswa. Menurut Ki Hadjar, sekolah kolonial memisahkan anak dengan budaya bangsa Indonesia sehingga anak-anak tidak mencintai budayanya sehingga khawatir tumbuh rasa egoisme atau hal hal lain yang bertentangan dengan budaya bangsa. 

Melihat perjuangan Ki Hadjar yang semula menjadi aktivis pergerakan hingga mendirikan taman siswa muncul sebuah pertanyaan di benak kepala saya, bagaimana jadinya jika Ki Hadjar bukan tokoh pergerakan yang kemudian diangkat menjadi menteri pendidikan melainkan ahli di bidang pendidikan kemudian diangkat menjadi menteri pendidikan? apakah ada perbedaan dalam mengambil kebijakan? 

Pemimpin memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan, salah satu keberhasilan Ki Hadjar dalam membangun taman siswa dan membentuk sistem pendidikan di Indonesia ialah ia memiliki power yang kuat dalam bidang politik sehingga kebijakan yang ia terapkan tidak dipengaruhi oleh pihak lain termasuk presiden yang menjabat kala itu. Oleh sebab itu, kebijakan yang dikeluarkan murni untuk pendidikan semata bukan kepentingan politik belaka.

Sampai saat ini, belum ada sosok seperti Ki Hadjar, seorang negarawan yang memiliki power dan keahlian dalam bidang pendidikan. Pada beberapa tahun akhir ini, menteri pendidikan kurang memiliki power seperti Ki Hadjar.

Kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan terselip beberapa kepentingan politik seperti halnya makan siang gratis, tentu kebijakan itu bukan dari Menteri Pendidikan dan kebutuhan pendidikan melainkan sebuah janji politik yang harus dibayar dengan lunas dan tuntas.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak