Belum lama ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membuat pernyataan yang bikin banyak orang terutama anak muda garuk kepala. Katanya, orang yang gajinya Rp15 juta pasti lebih sehat dan pintar dibanding yang cuma digaji Rp5 juta.
Sekilas, pernyataan itu mungkin terdengar logis. Tapi buat kami yang lagi jungkir balik bertahan hidup dengan UMR, rasanya pengen nangis. Jelas saja ucapan itu langsung memancing reaksi publik, apalagi bagi generasi muda yang merasa kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks dari sekadar angka gaji.
Nyatanya di balik keresahan dan sindiran di media sosial ada ketimpangan akses yang bikin sebagian besar dari kita berjuang bukan cuma buat jadi sukses, tapi buat tetap waras.
Mau Sehat Mental tapi Tiap Hari Ada Aja Kebutuhan
Banyak anak muda sekarang sudah sadar pentingnya menjaga kesehatan mental. Tapi tahu nggak, harga konsultasi psikolog itu bisa sampai Rp250 ribu – Rp500 ribu sekali datang? Dengan gaji UMR yang sering kali nggak sampai Rp3 juta, sebagian dari kita bahkan harus mikir dua kali buat beli vitamin, apalagi terapi.
Jadi ketika ada yang bilang "gaji besar bikin sehat", ya wajar sih. Tapi jadi sehat mental juga butuh kondisi yang stabil. Sayangnya, buat yang masih berjuang dari satu kontrak kerja ke kontrak lain, dari satu invoice ke invoice lain, sehat mental jadi kemewahan yang susah diraih.
Apalagi bagi kami anak rantau, makan tiga kali sehari aja sudah bersyukur banget. Banyak kebutuhan lain yang memang nggak bisa dikesampingkan. Kalau belum gajian aja sudah pusing bayar kos dan makan, gimana mau sehat?
Akses Itu Kunci, Bukan Sekadar Angka Gaji
Pintar bukan soal angka. Tapi soal siapa yang dari kecil sudah punya akses ke pendidikan yang layak. Siapa yang bisa ikut les, kursus coding, lomba akademik, atau bahkan sekadar punya waktu buat baca buku, bukan kerja habis pulang sekolah.
Banyak dari kita yang sebenarnya punya potensi. Tapi nggak semua punya lingkungan yang mendukung buat berkembang. Gaji besar mungkin memudahkan itu, tapi jadi pintar nggak selalu soal berapa banyak uang yang kita punya, tapi juga tentang kesempatan yang terbuka sejak awal.
Perbedaan pasti ada, antara mereka yang terbiasa punya akses ke pendidikan dengan mereka yang minim akses. Coba bandingin, ada anak yang sudah terbiasa pegang laptop dari SMP sama yang baru menyentuh internet pas SMA, pasti beda kan?
Punya gaji Rp15 juta bukan hal yang mustahil. Tapi jalan ke sana nggak sama buat semua orang. Ada yang lahir di keluarga dengan privilege dan koneksi. Ada juga yang harus kerja mati-matian buat bisa sampai di angka tersebut.
Kalau gaji besar dianggap sebagai patokan sehat dan pintar, lalu dimana ruang apresiasi buat proses panjang mereka yang pelan-pelan berusaha bangun hidup dari bawah?
Banyak yang kerja bukan di bidang yang mereka suka, tapi karena butuh gaji. Banyak juga yang sebenarnya burnout, tapi nggak bisa resign karena kebutuhan terus jalan. Realita itu jauh dari kata “sehat” baik secara fisik maupun emosional.
Pernyataan soal gaji dan kualitas hidup mungkin ada benarnya. Tapi jangan lupa, banyak anak muda yang masih terus berjuang, bukan karena mereka malas atau bodoh, tapi karena mereka memulai dari titik yang berbeda.
Jadi, kalau hari ini ada anak muda yang masih bisa senyum walau digaji UMR, bisa bangun pagi walau semalam nangis karena cemas, dan masih mau belajar meski nggak dihargai percaya deh, mereka bukan cuma sehat dan pintar, tapi mereka kuat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS