Dari Dapur Bibi ke Dapur Ibu: Seporsi Nasi 3T dan Rindu yang Tak Selesai

Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Dari Dapur Bibi ke Dapur Ibu: Seporsi Nasi 3T dan Rindu yang Tak Selesai
Ilustrasi seporsi nasi 3T (Instagram/@universal.vegetarian)

Sebagai anak rantau yang bekerja di Bandung, aku terbiasa hidup dengan kesibukan. Jadwal kerja padat, ruang tinggal sederhana, dan makanan yang sering kali tidak lebih dari sekadar pengisi perut.

Tapi siapa sangka, justru dari seporsi nasi, telur dadar atau ceplok, tahu, dan tempe goreng, aku belajar banyak tentang kasih sayang, tentang rindu, bahkan tentang kehilangan.

Cerita ini adalah pengalaman pribadi, tentang peran bibi (asisten rumah tangga) yang tugasnya bukan hanya memasak, tapi secara tidak langsung menjadi perpanjangan tangan kasih sayang seorang ibu.

Nasi 3T: Sederhana Tapi Membuat Mata Basah

Makanan itu sederhana sekali. Aku menyebutnya nasi 3T (telur, tahu, tempe). Biasanya disajikan oleh bibi, seorang asisten rumah tangga di tempat kerjaku yang sudah seperti keluarga sendiri.

Bibi masak untuk semua yang ada di rumah, termasuk aku yang selalu dibuatkannya menu makanan yang berbeda-beda setiap kali kalau aku berada di sana.

Mulai dari nasi dan lauk ayam goreng lengkap dengan sambal serta sayur timun atau selada, bahkan kadang sate dengan bumbu kacangnya dan acarnya yang sangat lezat.

Namun dari sekian banyak menu makanan yang pernah bibi masak untukku. Nasi 3T tetap menjadi pemenangnya. Awalnya aku makan tanpa banyak berpikir. Tapi lama-lama, ada rasa akrab di lidah.

Rasa yang membawaku kembali ke masa kecil, ke meja makan rumah di Kampung, ke tangan ibu dan nenek yang cekatan menggoreng tempe dan menuang sambal terasi ke nasi hangat yang disajikan pula dengan lalapan khas orang kampung.

Bibi: Tangan Dingin di Dapur yang Diam-Diam Menjadi Penguat

Bagiku, bibi selalu memasak dengan hati. Beliau selalu menghadirkan rasa ingin pulang di tengah hari yang sangat melelahkan. Di sela kesibukan mengerjakan pekerjaan, seporsi nasi dengan lauk 3T buatan bibi adalah jeda yang membuat hidup lebih tenang.

Saat aku menikmati telur dadar buatan bibi rasanya seperti sedang dimarahi lembut oleh ibu karena telat makan. Saat tempe goreng renyah itu berpindah ke mulut, rasanya seperti ibu sedang bertanya "Kerjanya jangan terlalu capek ya, Nak."

Dan seperti ibu di rumah, bibi tidak pernah menuntut balasan. Beliau hanya memasak, menyajikan, lalu kembali menyapu dapur dengan tenang. Tapi hatiku selalu penuh setelah makan, bukan hanya karena kenyang.

Hingga kemudian kabar itu datang: bibi meninggal dunia

Sudah beberapa bulan memang aku tidak pernah lagi merasakan lezatnya nasi 3T buatan bibi dikarenakan bibi sakit dan terpaksa harus berhenti bekerja.

Meskipun di rumah atasanku ada asisten rumah tangga baru sebagai pengganti bibi. Tetapi aku tidak merasakan hal serupa seperti apa yang dimasak oleh bibi yang sebelumnya.

Tidak ada firasat, tidak ada salam perpisahan. Hanya sunyi yang tiba-tiba menyelimuti. Tidak ada seporsi nasi 3T yang hangat di meja kerja. Bibi pergi tanpa tahu bahwa lewat masakan sederhananya, beliau telah menjadi rumah kedua bagiku.

Aku menyesal. Aku tidak pernah bilang langsung ke bibi bahwa masakannya mengingatkanku pada ibu. Bahwa aku makan bukan cuma karena lapar, tapi karena ingin pulang sebentar lewat rasa. Bahwa bibi sudah seperti ibu kedua bagi perut dan hatiku.

Sepiring Makan, dan Sepotong Kenangan

Sekarang setiap kali aku makan nasi, telur dadar, tahu, dan tempe, rasanya seperti mengenang dua dapur yang pernah menyambutku, dapur ibu, dan dapur bibi.

Dua tangan perempuan yang tak pernah lelah mencintai lewat masakan. Dua bentuk kasih yang tak pernah minta disebut sebagai cinta, tapi selalu terasa hangat dan tulus.

Mungkin ini sebabnya orang bilang cinta bisa datang dari hal paling sederhana. Karena memang begitu adanya. Kadang kasih tidak datang lewat hadiah besar, tidak lewat kata-kata manis, tapi lewat seporsi nasi dan lauk 3T, dan seseorang yang memasaknya dengan hati.

Hari ini, aku masih bekerja di tempat yang sama. Tapi tidak ada lagi nasi 3T buatan bibi. Tak ada lagi rasa yang mengingatkanku pada ibu.

Tapi rasa rindu ini tetap ada, rasa terima kasih yang tak sempat kusampaikan tetap menggantung. Aku hanya bisa mengenangnya.

Terima kasih, bi. Atas seporsi nasi dengan lauk yang lebih dari sekadar makan siang. Atas kasih yang tak kau sebut tapi aku rasakan.

Semoga Allah memberikanmu tempat terbaik. Dan semoga setiap rasa yang pernah kau hadirkan, menjadi pahala yang tak pernah putus.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak