Sudah seribu hari berlalu sejak malam kelabu 1 Oktober 2022, ketika tragedi Kanjuruhan menewaskan 135 nyawa—termasuk 33 anak—dalam kepanikan massal setelah polisi menembakkan gas air mata ke tribun yang padat pengunjung. Namun, janji “usut tuntas dan beri sanksi”, yang bahkan digalakkan oleh Presiden Jokowi sehari setelah kejadian, tampak masih jauh dari terwujud. Apa yang sudah terjadi?
Dalam beberapa minggu awal pasca-peristiwa, Presiden Jokowi membentuk TGIPF—tim independen pencari fakta—dan menunda Liga 1 sambil meninjau stadion secara menyeluruh. Stadion Kanjuruhan pun akhirnya direnovasi senilai Rp350 miliar dan rampung pada Januari 2025. Namun, publik bertanya: sudahkah rasa aman dan keadilan dipulihkan?
Keadilan bagi korban: Masih di udara
Pada April 2023, keluarga korban melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri, Komnas HAM, Kejaksaan, dan LPSK—namun tidak ada perkembangan berarti . Bahkan saat peringatan dua tahun, para keluarga merasa "kecewa dengan penegakan hukum" karena proses hukum dinilai lambat dan tidak memuaskan.
Tragisnya, dari enam terdakwa yang diseret dalam persidangan pidana, dua polisi dibebaskan dan hanya dua petugas diberi hukuman ringan 1 tahun 6 bulan. Sedangkan dua lainnya—Direktur PT LIB dan satu steward keamanan—dijerat pasal kelalaian. Namun ini jauh dari rasa adil yang diharapkan oleh banyak pihak.
Pelanggaran HAM: Belum dituntaskan
Komnas HAM sempat menyebut tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM karena tidak ada standar keselamatan dan keamanan yang dipenuhi. Meski begitu, mereka belum menetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat yang bisa dibawa ke Pengadilan HAM. Padahal, menurut Haris Azhar, unsur “serangan sistematis terhadap warga sipil” telah terpenuhi. Sayangnya, TGIPF pun hanya mengeluarkan rekomendasi moral, bukan tindakan hukum substansial.
Pendidikan pelajaran dari masa lalu
Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi momentum reformasi besar di bidang pengamanan stadion dan kultur suporter di Indonesia. FIFA dan pemerintah pun menjanjikan transformasi: audit stadion, pelatihan keamanan sesuai standar internasional, dan keterlibatan suporter dalam pengawasan (en.wikipedia.org). Namun pernyataan berani di awal yang digantung di udara belum berubah menjadi aksi nyata di lapangan.
Seribu hari kemudian: Apa yang berubah?
- Stadion sudah berubah, tapi mekanisme pengamanan dan SOP darurat belum secara transparan dipaparkan ke publik.
- Hukum berjalan lambat, dengan vonis ringan dan pencabutan beberapa tersangka.
- Keluarga korban menilai keadilan tak kunjung datang, bahkan mempertimbangkan jalur HAM internasional.
Tragedi ini bukan hanya soal satu malam di Stadion Kanjuruhan. Ini adalah cermin dari bagaimana negara menangani krisis kemanusiaan: dengan respons cepat yang berakhir di bangunan fisik, tanpa keadilan yang dirasakan.
Harus ada kejelasan langkah ke depan
- Komnas HAM harus menetapkan apakah ini termasuk pelanggaran HAM berat, sehingga bisa dibawa ke tingkat pengadilan HAM.
- TGIPF harus diperkuat atau dibuka jalur hukum formal biologis, bukan hanya rekomendasi moral.
- Audit keamanan stadion diselaraskan dengan transparansi publik, termasuk SOP evakuasi dan penggunaan perangkat crowd-control sesuai standar internasional.
- Dukungan keuangan dan psikologis bagi keluarga korban harus dipastikan berkelanjutan, bukan retorika sesaat.
Seribu hari mungkin pendek dalam catatan sejarah, tapi bagi keluarga korban, waktu ini terasa seperti kekekalan yang hampa. Rakyat menuntut bukan sekadar renovasi fisik, tetapi renovasi keadilan—yang jauh lebih sulit dan penting. Hingga semua tersangka implikasi kejahatan terhadap warga sipil dijatuhi hukuman yang layak, ingatan kita yang seribu hari itu akan terus menganga sebagai luka yang belum sepenuhnya sembuh.