Pagi hari. Seseorang menyalakan laptop, membuka Zoom, dan diam-diam menyetrika seragam anak sambil berlagak mendengarkan rapat penting. Di sudut layar, anaknya sedang merengek minta dibukakan botol susu. Inilah potret klasik era Work from Home (WFH) yang membuat kantor dan rumah berbaur lebih akrab dari kopi dan gula. Tapi, tunggu dulu — ternyata tidak semua orang menikmatinya.
Di grup WhatsApp Yoursay Community, pada Rabu, 25 Juni 2025, sebuah survei kecil tapi penuh makna dilemparkan: “Pilih WFH atau WFO?” Hasilnya? 34 responden memilih WFH, 20 memilih WFO. Yang menarik, alasan di balik pilihan itu tidak semata soal gaji atau gengsi — tapi pendidikan anak dan efisiensi kerja domestik! Siapa sangka, keputusan untuk datang ke kantor atau tidak, bisa dipengaruhi oleh tumpukan cucian dan nilai ulangan matematika si bungsu?
Artikel ini akan membedah pilihan WFH dan WFO bukan dari kacamata HRD, melainkan dari dapur rumah, ruang belajar anak, hingga detak waktu di stasiun kereta. Karena rupanya, bagi sebagian orang, kantor itu bukan tempat kerja — tapi tempat istirahat dari rumah yang terlalu sibuk.
WFH: Ketika Sekolah Anak Jadi Kantor Kedua
Banyak dari responden yang memilih WFH rupanya tidak sekadar ingin bekerja dari rumah, tapi hidup dari rumah. “Saya bisa ngawasin anak belajar,” kata seorang yang diilustrasikan sebagai seorang ibu yang memiliki anak namun tidak memiliki ART sekaligus sedang menavigasi dunia PJJ dan kurikulum merdeka. Di tengah kecanggihan teknologi, ternyata pendidikan anak masih butuh satu hal yang tak bisa di-outsourcing: perhatian orang tua.
Menurut penelitian dari (Almeida & Silva, 2022), WFH memungkinkan orang tua, terutama ibu, untuk lebih terlibat dalam perkembangan kognitif anak. Tapi masalahnya, WFH tidak hanya membawa pekerjaan ke rumah — ia membawa atasan, deadline, dan KPI juga ikut tidur di sofa.
WFH idealnya membuat kita dekat dengan keluarga, tapi dalam praktiknya, banyak yang merasa seperti memiliki dua kantor: satu di laptop, satu di meja belajar anak. Peran orang tua mendadak berevolusi menjadi guru bayangan, psikolog pribadi, dan operator Google Translate untuk tugas Bahasa Inggris kelas 5 SD. Kalau dunia kerja menyebutnya multitasking, di dunia parenting itu disebut “selamat datang di zona perang”.
Namun, mari jujur. WFH bukanlah surga kerja bila rumah tak siap. Satu laptop dibagi dua, sinyal yang loncat-loncat seperti mantan yang gak bisa move on, dan gangguan suara dari tukang bakso lewat bisa jadi penyebab turunnya performa kerja. Tapi tetap saja, banyak yang rela berjibaku demi anak bisa lebih tenang dan dekat.
WFO: Pelarian Terindah dari Jemuran dan Panci Gosong
Di sisi lain, ada pula mereka yang dengan mantap memilih WFO, dan alasannya sungguh segar (sekadar ilustrasi penulis): “Saya bisa kerja lebih efisien... dan jauh dari cucian piring.” Jujur saja, siapa yang tidak tergoda oleh ruang kantor yang dingin, bersih, bebas dari bau tumisan dan teriakan anak rebutan remote?
Mungkin, sebagian responden mengaku bahwa WFO membuat mereka “lebih waras.” Di kantor, tak ada yang tiba-tiba menangis karena boneka hilang. Tak ada suara tetangga yang latihan karaoke pukul 10 pagi. Di kantor, Anda hanya perlu menghadapi satu jenis kekacauan: rapat yang tidak penting tapi wajib hadir.
Ada ironi manis di sini. Dulunya, kantor dianggap sebagai tempat penuh tekanan. Kini, ia jadi tempat "kabur" yang legal — tempat di mana orang bisa minum kopi panas sampai habis tanpa diselingi panggilan darurat dari kamar mandi anak.
Menurut (Shen, 2023), WFO tetap punya keunggulan dalam hal kolaborasi dan produktivitas, terutama pada tugas-tugas yang membutuhkan koordinasi tinggi. Namun hasil riset juga menunjukkan, motivasi pekerja sering kali meningkat bukan karena ruang kerja yang bagus — tapi karena tidak perlu mencuci piring sambil nyambi presentasi.
Antara Mitos Produktivitas dan Kenyataan Domestik
Produktivitas sering dijadikan alasan untuk memilih WFO maupun WFH, tergantung siapa yang bicara. Yang memilih WFH mungkin akan bilang, “Saya bisa fokus tanpa distraksi kantor.” Yang memilih WFO mungkin akan balas, “Saya bisa fokus tanpa distraksi rumah.” Kedua argumen valid, tapi keduanya juga punya lubang.
Realitasnya, produktivitas bukan hanya soal tempat, tapi juga soal ritme hidup yang seimbang. Seorang ayah tiga anak bisa saja lebih produktif di rumah jika rumahnya tenang. Tapi jika rumahnya seperti pasar malam setiap pukul 07.00 pagi, jangan heran kalau Excel-nya penuh dengan kata "AAAARGH".
Menurut penelitian Vartiainen (2024), banyak pekerja merasa “selalu aktif” saat WFH, menyebabkan kelelahan digital (digital fatigue). Di sisi lain, ke kantor juga tidak berarti pulang lebih cepat — bahkan ada yang merasa pulang lebih lambat karena harus mengejar kerja yang tertunda akibat kemacetan.
Maka, mitos produktivitas ini sesungguhnya bisa runtuh dengan satu kalimat bijak: “Produktif itu bukan diukur dari seberapa cepat kita menyelesaikan pekerjaan, tapi seberapa sering kita tidak ingin melempar laptop ke tembok.”
Hybrid Life: Mencari Jalur Tengah antara Teriakan dan Target
Di tengah polarisasi WFH dan WFO, muncul satu tren yang makin populer: hybrid working. Sebuah solusi yang katanya manis — separuh waktu di rumah, separuh di kantor. Tapi seperti hubungan LDR, ini hanya indah jika dikelola dengan baik. Tanpa manajemen waktu dan batas yang jelas, hybrid bisa jadi alasan baru untuk selalu sibuk di dua dunia sekaligus.
Responden yang condong ke hybrid menganggap sistem ini sebagai bentuk fleksibilitas yang manusiawi. Bisa hadir di rapat sekolah anak tanpa absen dari meeting penting. Bisa masak makan siang dan kembali ke laptop tanpa drama KRL.
Namun, hybrid juga membutuhkan infrastruktur dan budaya kerja yang matang. Tidak semua perusahaan siap. Di Indonesia, banyak sistem kerja masih mengukur produktivitas dari “dilihat bos”, bukan dari hasil. Alhasil, hybrid sering gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena dilaksanakan di sistem yang belum siap melepaskan budaya absen sidik jari dan absen senyum paksa.
Kita perlu redefinisi kerja: bukan sekadar hadir fisik, tapi kontribusi nyata. Kalau KPI hanya soal jam masuk, maka robot lebih layak jadi karyawan teladan.
Pilihan Bekerja Adalah Pilihan Hidup
Pada akhirnya, survei kecil di Yoursay Community menunjukkan satu hal besar: pilihan antara WFH dan WFO bukan cuma soal kerja — tapi tentang bagaimana seseorang mengelola hidupnya. Tentang prioritas. Tentang keluarga. Tentang mencari kewarasan di tengah kebisingan hidup modern.
Mereka yang memilih WFH, memilih hadir bagi pendidikan anak. Mereka yang memilih WFO, memilih hadir untuk menjaga stabilitas rumah. Keduanya benar, selama dilandasi kesadaran dan bukan sekadar ikut tren.
Mungkin kita perlu menyudahi perang diam-diam antara kubu WFH dan WFO. Karena hidup bukan kompetisi siapa yang lebih produktif — tapi siapa yang bisa pulang dengan senyum, dan besok bangun tanpa rasa ingin kabur ke hutan.
Dalam dunia ideal, kita tidak perlu memilih. Tapi dalam dunia nyata, pilihan harus dibuat. Dan seperti kata pepatah masa kini: “Kerja bisa di mana saja, asal jangan di atas perasaan sendiri.”