Di balik keluarga yang tampak harmonis, sering kali tersembunyi perjuangan sunyi seorang perempuan. Sejak muda, ia didorong untuk bijak memilih pasangan hidup, yang katanya harus mapan, bertanggung jawab, penyayang, dan layak dijadikan kepala keluarga.
Setelah menikah, tanggung jawabnya bertambah mulai dari mendidik anak, terutama anak lelaki, agar kelak tumbuh menjadi pria dewasa yang baik, bijak, dan menghargai perempuan. Semua ini dianggap wajar, bahkan mulia, meskipun sedikit yang sadar betapa beratnya tuntutan yang melekat di pundak perempuan.
Namun, benarkah tugas memilih pasangan yang ideal dan mendidik anak lelaki agar tumbuh menjadi manusia baik hanyalah tanggung jawab perempuan semata? Mengapa ketika rumah tangga goyah atau anak lelaki tumbuh menjadi sosok yang menyakiti orang lain, ibu yang selalu jadi sasaran kesalahan?
Apakah ini bentuk keadilan, atau justru tanda bahwa ada pola yang keliru dalam cara masyarakat menilai peran perempuan dan laki-laki di keluarga?
Salah Pilih Suami? Perempuan yang Disalahkan
Sejak dulu, nasihat untuk perempuan agar pandai memilih suami sudah mendarah daging. Keluarga, tetangga, bahkan teman sebaya menekankan pentingnya memilih lelaki mapan, penyayang, beragama, dan bertanggung jawab.
Sayangnya, proses memilih pasangan bukan hanya soal logika dan nasihat orang tua, tetapi juga melibatkan hati, keadaan, dan berbagai faktor yang sering kali di luar kuasa perempuan.
Ketika akhirnya rumah tangga tak berjalan mulus, lingkungan sekitar jarang berempati. Sebaliknya, perempuan langsung dicap sebagai pihak yang ceroboh atau “kurang selektif”.
Ironisnya, di balik tuntutan agar perempuan pandai memilih pasangan, jarang sekali ada tekanan sosial yang sama kuatnya pada laki-laki untuk memantaskan diri.
Laki-laki kerap merasa cukup dengan membawa gelar kepala keluarga, meski tanpa menunjukkan kepemimpinan yang bijak. Dalam kondisi ini, perempuan seolah menanggung risiko paling besar, selain salah pilih suami berarti ia sendiri yang harus memikul beban rumah tangga, memperbaiki keadaan, atau pasrah dicap gagal.
Siklus ini terus berulang, seakan perempuan harus selalu sempurna di hadapan tuntutan masyarakat.
Mendidik Anak Lelaki: Tanggung Jawab yang Sering Ditinggal
Setelah menikah, peran perempuan berubah dari istri menjadi ibu. Tanggung jawab mendidik anak, khususnya anak lelaki, melekat begitu kuat pada sosok ibu.
Pepatah “ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya” memang benar, tetapi sering kali kalimat itu dijadikan alasan untuk menumpahkan tanggung jawab mendidik sepenuhnya pada ibu.
Ayah, di sisi lain, merasa perannya cukup dengan bekerja dan memberikan nafkah. Akibatnya, anak lelaki tumbuh tanpa figur ayah yang terlibat aktif dalam proses pembelajaran nilai-nilai moral dan empati.
Saat anak lelaki tumbuh dengan sikap kasar, egois, atau merendahkan perempuan, ibu lagi-lagi jadi sasaran tudingan. Masyarakat lupa bahwa pembentukan karakter anak adalah kerja sama dua orang tua.
Banyak anak lelaki yang kehilangan teladan maskulinitas sehat karena sosok ayahnya terlalu sibuk atau tak pernah diajak terlibat dalam pola asuh. Kondisi ini menandakan bahwa mendidik anak lelaki tak bisa hanya dibebankan pada perempuan melainkan juga perlu peran ayah yang hadir, mendampingi, dan memberi contoh.
Mematahkan Lingkaran Ekspektasi
Masyarakat kita kerap menuntut perempuan membentuk anak lelaki yang baik dan beradab, tetapi dalam waktu bersamaan tetap membiarkan laki-laki menempati posisi dominan dalam keluarga.
Paradoks ini membelenggu perempuan dalam lingkaran peran ganda yaitu sebagai pencetak karakter generasi baru, tetapi tetap harus patuh dan mendukung di belakang layar. Selama peran mendidik hanya dianggap tugas ibu, perubahan perilaku anak lelaki yang kelak jadi suami dan ayah akan terus berjalan di tempat.
Untuk mematahkan lingkaran ekspektasi ini, dibutuhkan cara pandang baru yang memandang pengasuhan sebagai tanggung jawab bersama.
Anak lelaki harus diajarkan sejak dini bahwa menjadi laki-laki bukan hanya soal berkuasa, tetapi juga soal tanggung jawab, menghargai orang lain, dan mampu bekerja sama.
Ayah perlu hadir di tengah keluarga, terlibat secara emosional, dan menjadi panutan. Dengan demikian, perempuan tidak lagi menanggung beban seorang diri, dan laki-laki pun tumbuh dengan bekal moral yang lebih utuh.
Menjadi perempuan di masyarakat kita berarti siap memikul dua beban besar sekaligus yakni memilih pasangan hidup yang ideal dan mendidik anak lelaki agar tumbuh menjadi manusia yang baik.
Jika pola ini terus dibiarkan, generasi demi generasi akan terjebak dalam siklus beban yang sama. Sudah saatnya keluarga, terutama laki-laki, mengambil peran yang setara dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Karena mencetak laki-laki baik bukan hanya tugas seorang ibu, tetapi tanggung jawab bersama untuk masa depan yang lebih adil dan setara.