Ada yang agak janggal dari pernyataan Ahmad Doli Kurnia Tandjung, anggota Komisi II DPR RI. Ia menyampaikan bahwa gaji PNS tidak akan naik di tahun anggaran 2026. Alasannya, kenaikan gaji itu bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Selain itu, kondisi fiskal negara dinilai sedang tidak baik, dan masyarakat pada umumnya masih kesulitan ekonomi.
Kalimatnya terdengar penuh empati, seolah DPR sedang menjadi juru bicara rakyat kecil yang kesulitan beli beras.
Tapi, benarkah itu soal empati? Atau justru paradoks lebih besar yang sedang dipertontonkan di mata rakyat?
Karena saat gaji PNS ditahan, justru di saat yang sama tunjangan DPR terus berjalan naik. Angkanya tidak main-main. Menurut data, gaji pokok anggota DPR memang hanya sekitar Rp4 jutaan. Tetapi yang membuat kantong mereka tebal justru tunjangan dan fasilitas tambahan. Setiap bulan, totalnya bisa menyentuh Rp100 juta lebih.
Kalau logika jangan bikin iri rakyat dipakai untuk menahan kenaikan gaji PNS, kenapa logika yang sama tidak berlaku untuk memangkas tunjangan DPR? Bukankah itu lebih adil? Bukankah kalau betul-betul ingin mengurangi kecemburuan sosial, para wakil rakyat bisa mulai dari dirinya sendiri?
PNS adalah mesin birokrasi yang memastikan negara berjalan. Mereka yang mengurus administrasi sekolah, mengelola pelayanan kesehatan, menyiapkan data, sampai mengurus berkas-berkas publik yang seringkali bikin kita mengeluh. Apakah mereka sempurna? Tentu saja tidak.
Tapi, bandingkan dengan DPR. Apa kontribusi nyata yang membuat mereka layak menikmati tunjangan begitu besar?
Produk undang-undang seringkali lebih banyak copy-paste dari rancangan pemerintah. Sidang-sidang pun kadang lebih sepi daripada ruang kelas menjelang jam pulang. Beberapa bahkan masih bisa ketiduran, bolos, atau sibuk dengan gawai saat rapat penting.
Jadi, siapa sebenarnya yang lebih pantas mendapat perhatian soal kesejahteraan?
Gaji PNS tidak boleh naik karena rakyat sedang susah. Tapi, DPR yang mendapat gaji plus tunjangan fantastis tetap bisa menambah fasilitasnya tanpa rasa sungkan. Bukankah ini justru menimbulkan kecemburuan sosial yang lebih besar?
Lucunya lagi, alasan kondisi fiskal negara tidak longgar juga terdengar selektif. Ketika untuk rakyat kecil, fiskal tiba-tiba seret. Tapi untuk elite politik, fiskal entah bagaimana selalu punya celah. Padahal, jika benar negara sedang kesulitan, bukankah sudah seharusnya semua pihak merasakan efek penghematan?
Kita mungkin masih ingat, beberapa bulan lalu, Presiden Prabowo menyebut kondisi ekonomi Indonesia baik-baik saja. Tapi menterinya sendiri mengaku ruang fiskal menipis, sehingga program rakyat harus dikurangi atau ditunda.
Lalu kini, DPR kembali mengulang narasi yang sama, rakyat susah, jadi jangan naikkan gaji PNS. Padahal, mereka sendiri justru hidup di ruang yang jauh dari kesusahan itu, dengan tunjangan enam digit yang masuk tiap bulan.
Bagaimana nasib PNS yang gajinya stagnan bertahun-tahun, lalu mereka justru membaca berita anggota DPR yang tunjangannya naik. Bagaimana dengan rakyat yang mengirit uang belanja karena harga pangan terus naik, justru menonton anggota dewan berjoget ria di sidang tahunan dengan jas mewah yang dibeli dari uang mereka?
Rasa ketidakadilan itu jauh lebih menyakitkan daripada angka gaji itu sendiri.
Kalau DPR benar-benar peduli dengan kecemburuan sosial, seharusnya potong dulu tunjangan mereka sendiri. Tunjukkan bahwa mereka juga mau berhemat demi solidaritas. Kalau rakyat harus menahan diri, DPR pun seharusnya ikut menahan diri.
Tapi sayangnya, realitas politik kita sering kali berkebalikan dengan logika kita sebagai rakyat biasa.
DPR akan terus punya alasan, pemerintah akan terus punya dalih, dan rakyat akan terus diminta memaklumi. Padahal, rakyat sudah terlalu lama mengerti. Yang tidak mengerti justru mereka yang duduk di kursi empuk Senayan.