Di kalangan pecinta buku dan pembaca aktif, ada salah satu istilah yang cukup populer namun sering kali sulit dijalankan dengan konsisten yaitu Book Buying Ban.
Artinya, sebuah keputusan pribadi untuk tidak membeli buku baru dalam jangka waktu tertentu, dengan tujuan menyelesaikan tumpukan buku yang belum dibaca. Teorinya sederhana. Praktiknya? Tidak semudah itu.
Book Buying Ban biasanya dimulai dari rasa bersalah karena koleksi buku menumpuk, tapi belum tersentuh. Tiap kali melihat rak buku penuh dengan label belum dibaca, muncul keinginan untuk menahan diri sejenak.
Rasanya ingin lebih bijak sebagai pembaca, menyelesaikan apa yang ada, bukannya terus menambah. Tapi kenyataan berkata lain.
Godaan datang dari mana-mana. Promo flash sale, diskon besar-besaran, buku edisi khusus, atau ulasan teman yang bilang “ini buku paling menyentuh tahun ini!” bisa dengan mudah menggoyahkan niat.
Apalagi sekarang membeli buku semudah klik di marketplace. Rasanya, satu buku lagi tidak akan membuat rak runtuh, bukan? Hal ini terkadang menjadi sebuah dilema bagi para pecinta buku di era gempuran diskon dan PO buku yang selalu menanti.
Namun sebenarnya, Book Buying Ban bukan tentang melarang diri secara total, melainkan melatih kedewasaan membaca dan belanja. Book Buying Ban biasanya dilakukan untuk rentang waktu tertentu saja, tergantung masing-masing pembaca buku.
Daripada memaksakan larangan ketat (yang bisa berujung belanja impulsif), lebih baik fokus pada pengelolaan bacaan dan kebiasaan konsumsi yang sadar.
Salah satu strategi yang bisa dicoba adalah bereskan dulu tumpukan yang ada. Buat daftar buku yang belum dibaca (TBR list), lalu pilih beberapa buku untuk dibaca dalam bulan ini.
Bahkan menyusun prioritas bacaan bisa menjadi motivasi tersendiri. Misalnya: “aku akan beli buku baru setelah menyelesaikan 3 buku lama.” Atau “boleh beli jika sudah kosongkan satu baris rak.”
Selain itu, cobalah mendokumentasikan proses membaca. Buat catatan bacaan, ulasan pribadi, atau bagikan kutipan favorit di media sosial.
Dengan begitu, kita lebih terhubung secara emosional dengan buku yang sedang dibaca dan tidak mudah terdistraksi oleh buku baru.
Dan tentu saja, kita juga bisa tetap menikmati buku baru tanpa membeli dengan meminjam dari teman, bergabung komunitas baca, atau mengakses perpustakaan digital seperti iPusnas, Google Play Books, atau Gramedia Digital.
Bahkan sekarang banyak juga akun yang menjual buku preloved dengan kondisi bagus dan harga miring. Intinya, Book Buying Ban bukan larangan total, tapi bentuk kesadaran literasi.
Agar Book Buying Ban berjalan lebih terarah, kita juga bisa mulai dengan membuat jadwal baca harian. Tak perlu muluk-muluk, cukup tetapkan waktu khusus, misalnya 15–30 menit setiap pagi atau malam untuk benar-benar fokus membaca.
Bisa juga memanfaatkan waktu-waktu transisi seperti saat menunggu, naik kendaraan umum, atau jeda istirahat. Dengan jadwal yang konsisten, bacaan kita akan lebih terkendali dan TBR akan perlahan berkurang.
Ini juga membantu membangun kebiasaan membaca yang lebih disiplin dan terukur, sehingga kita tidak terus-menerus merasa tertinggal dan tergoda membeli buku baru.
Kita tidak sedang menghukum diri, tapi belajar untuk lebih menghargai buku-buku yang sudah kita miliki. Jika sesekali tergoda dan tergelincir beli buku, tidak apa-apa. Asal tahu batasnya.
Karena pada akhirnya, membaca bukan soal siapa yang punya buku terbanyak. Tapi siapa yang bisa benar-benar menikmati dan meresapi buku yang ia punya.