Antara Strategi dan Romantisme: Buku Langka dan Daya Tariknya

Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Antara Strategi dan Romantisme: Buku Langka dan Daya Tariknya
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (X/MakaruMakara)

Ada hal yang istimewa dari buku yang sulit ditemukan di toko buku atau marketplace. Kelangkaannya seolah menghadirkan nilai tambah yang tak tertulis.

Buku tersebut menjadi lebih dari sekadar teks yang dicetak di atas kertas, namun berubah menjadi objek incaran, barang sentimental, dan bahkan simbol status intelektual.

Buku-buku seperti itu biasanya adalah buku yang memiliki nilai historis yang tinggi atau buku-buku yang dianggap memiliki pengaruh terhadap perkembangan suatu peradaban bangsa.

Salah satu contoh paling kentara dari fenomena ini adalah buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Empat buku legendaris ini yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, kerap tak tersedia lengkap di pasaran.

Ada masa ketika hanya satu atau dua judul yang mudah ditemukan, sementara sisanya menghilang dari rak-rak toko buku maupun marketplace.

Ketidakseimbangan ini menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang, apakah ini benar-benar karena persoalan distribusi? Atau memang ada strategi lain di balik langkanya buku tersebut?

Sebagian pembaca mungkin akan menduga bahwa ini adalah bentuk dari mitos kelangkaan yang disengaja. Dalam dunia pemasaran, scarcity marketing adalah teknik yang umum digunakan, barang dibuat langka agar permintaan meningkat.

Jika semua judul dalam Tetralogi Pulau Buru mudah didapatkan, pembeli mungkin akan menunda pembelian. Namun ketika salah satu judul langka, pembaca terdorong untuk segera membeli yang tersedia dengan harapan suatu saat bisa melengkapi koleksi.

Strategi ini mungkin terdengar manipulatif, tapi pada kenyataannya memang sangat efektif. Apalagi dalam konteks buku, kelangkaan bisa menciptakan sensasi emosional tersendiri.

Buku menjadi bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk dimiliki dan dikoleksi. Apalagi jika buku tersebut memuat nilai sejarah, ideologi, atau karya penulis besar. Rasanya seperti menemukan harta karun.

Memiliki buku dengan edisi khusus atau edisi terbatas pasti ada suatu kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang terlebih mereka yang merupakan pencinta buku.

Bahkan ketika harganya melambung tinggi, buku langka pasti akan tetap diburu oleh para pembacanya. Sebab nilainya tidak hanya dinilai dari fungsi bacaannya saja, tetapi juga pembaca melihat dari makna simboliknya.

Kolektor buku, pecinta literasi, dan pembaca loyal berlomba-lomba mencari versi cetakan lama, edisi khusus, atau sampul tertentu yang sudah tidak lagi diproduksi secara luas di pasaran.

Bahkan mereka biasanya rela membayar lebih hanya demi satu buku yang mungkin tak akan dibaca ulang, tapi sangat berarti secara emosional.

Namun, di balik romantisme ini, justru ada hal dan persoalan yang perlu dikritisi. Strategi kelangkaan dalam buku, terutama karya sastra yang dianggap penting, juga dapat menjadi bentuk penghalang akses.

Buku-buku seperti Tetralogi Pulau Buru adalah warisan sastra bangsa, yang idealnya bisa dibaca siapa pun dan di mana pun, bukan hanya yang sanggup membayar dengan harga yang mahal atau yang beruntung mendapat cetakan lama.

Ketika literatur yang dianggap penting dijadikan barang eksklusif dan terbatas, justru yang hilang bukan hanya kesempatan membaca saja, tapi juga keadilan dalam literasi itu sendiri.

Karena itu, perlu ada upaya yang seimbang antara menjaga daya tarik buku melalui desain, edisi terbatas, atau pemasaran yang menarik dengan membuka akses bagi masyarakat umum.

Buku harus tetap bisa memikat, tetapi juga tetap menjadi milik publik. Sebab pada akhirnya, buku bukan hanya tentang jumlah cetak semata, tapi soal dampaknya bagi peradaban. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak