Mencari pekerjaan setiap hari menjadi rutinitas rutin para jobseeker. Satu email atau notifikasi pesan interview yang masuk jadi satu-satunya harapan untuk melepas status pengangguran. Dengan semangat yang menggebu-gebu langsung membalas pesan itu dengan mengonfirmasi kehadiran.
Pagi-pagi dua jam sebelum jadwal interview terlaksana dengan menembus macet, debu, drama konflik antarpengendara dan menghabiskan uang terakhir untuk ongkos. Semua dilewati hanya demi menjual skill dan kompetensi yang dapat ditukar dengan gaji.
Realita Seorang Jobseeker, Kondisi Finansial Belum Stabil
Lulus dari pendidikan tinggi dengan harapan langsung mendapatkan pekerjaan, ternyata tidak selalu berjalan mulus. Ditengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, malah menambah rasa ketidakpercayaan akan tercapainya sebuah pekerjaan.
Berpacu dengan waktu untuk segera mengunggah postingan di LinkedIn dengan narasi “I’m Happy to Share, That I Have New Position as (posisi pekerjaan yang didapat)…” menjadi to do list pertama setelah lepas dari status pengangguran.
Sayangnya, menyandang status karyawan tidak semudah yang dikira. Terlebih kondisi keuangan jobseeker yang belum stabil menambah beban sebagai penyandang status fresh graduate ataupun pengangguran. Beban biaya untuk mengikuti seleksi terkadang banyak yang harus dikeluarkan.
Biaya transportasi, menyalin atau mencetak dokumen, mengurus syarat-syarat dokumen ke berbagai instansi bahkan biaya parkir per jam yang bisa cukup lama hanya untuk menunggu wawancara dimulai.
Dari situ, ada ruang tengah yang saling beririsan yakni kesenjangan antara perusahaan yang ingin menyeleksi secara langsung agar dapat lebih mengenali potensi dan kecocokan kandidat dan realita kondisi pelamar.
Antara Waktu, Uang, Tenaga, dan Harapan
Bagi seorang jobseeker ongkos atau biaya transportasi bukan melulu soal uang semata tetapi juga soal waktu dan energi. Meskipun biaya menjadi beban yang cukup terlihat tetapi waktu yang dikorbankan, energi yang terkuras habis tidak boleh diabaikan.
Harapan demi harapan sepanjang perjalanan berbuah menjadi doa untuk mendapat pekerjaaan. Pencari kerja datang dengan niat baik juga persiapan matang namun terkadang hanya pulang untuk rasa kecewa dan ketidakpastian.
Kelelahan mental hingga harapan yang dipatahkan turut menambah beban psikologis. Namun, harus diakui juga bahwa tidak semua kandidat akan lolos seleksi. Melalui kualifikasi dan kebijakan perusahan, hanya kandidat terpilih yang akhirnya berhasil menyandang status karyawan.
Tantangan Sistem Rekrutmen
Rekrutmen memang tidak bisa diputuskan secara sembarangan. Setiap perusahaan pasti memiliki pola dan kebijakannya masing-masing.
Prosesnya yang begitu kompleks cukup terasa bagi kandidat maupun perusahaan. Mulai dari proses screening CV, tes psikotes yang memakan banyak waktu, FGD (Focus Group Discussion), proses wawancara yang dibagi lagi dalam beberapa tahapan baik HR, manager, wawancara panel hingga akhirnya datang selembar kertas yakni offering letter.
Memang tidak semua rekrutmen dapat diselenggarakan secara online, sehingga dapat memudahkan bagi kandidat yang memiliki kondisi materi terbatas untuk tetap hadir mengikutinya. Namun, ada salah satu jalan tengah yang dapat diambil jika hal ini memungkinkan. Melaksanakan tahap interview awal secara online dapat menjadi alternatif bagi kedua belah pihak. Melalui cara ini harapannya efisiensi dapat tercapai.
Tidak Ada Keberhasilan Tanpa Perjuangan
Proses mencapai profesi impian memang tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Banyak perjuangan, usaha bahkan air mata untuk dilewati. Namun, hal ini bukan menjadi sebuah alasan untuk menyalahkan.
Pada satu sisi terdapat pencari kerja dengan keterbatasan finansial dan tekanan mental, di sisi lain terdapat perusahaan dengan tantangan mendapatkan kandidat yang sesuai di tengah banyaknya pelamar.
Kedua sisi tersebut memiliki jalur dan tujuannya masing-masing. Oleh karena itu, penting untuk melihat dari dua perspektif berbeda. Tidak hanya melihat dari satu pandangan saja. Alangkah baiknya jika kita saling memahami dan membuka ruang empati, bahwa setiap pihak memiliki tantangan tersendiri.