Janji Negara Menjaga Bumi: Suara Kritis atas Lemahnya Penegakan Hukum

Hikmawan Firdaus | Ernik Budi Rahayu
Janji Negara Menjaga Bumi: Suara Kritis atas Lemahnya Penegakan Hukum
Ilustrasi Hutan (pexels.com/mali maeder)

Indonesia sebagai sebuah negara sebenarnya telah berulang kali membuat komitmen untuk menjaga bumi dalam bentuk produk hukum. Dalam konstitusi, jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Komitmen ini bahkan diperkuat lewat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tak hanya itu, Indonesia juga menunjukkan komitmennya dalam menjaga bumi pada tingkat global dengan ikut menandatangani Paris Agreement dengan mengusung jargon pembangunan berkelanjutan. Komitmen yang diberikan negara ini tentu adalah langkah baik yang harus kita berikan apresiasi. Hal ini dikarenakan Negara telah berupaya untuk menempatkan hukum sebagai benteng untuk melindungi bumi dari kerakusan manusia.

Walaupun  negara telah mengupayakan komitmenya untuk menjaga bumi, namun sebagai anak muda yang peduli terhadap kemerdekaan bumi suara kritis tetap akan saya berikan terhadap lemahnya penegakkan hukum di Indonesia.

Suara kritis ini akan saya berikan, agar janji-janji negara tak berhenti hanya di atas kertas.

Realita Lemahnya Penegakkan Hukum

Seperti yang saya uraikan, walaupun regulasi-regulasi yang dibuat negara telihat telah lengkap dan baik. Namun, faktanya penegakan hukum lingkungan di Indonesia masih jauh dari kata baik itu sendiri. Hal dapat kita lihat dari datanya, bahwa setiap tahun kita menyaksikan bencana ekologis yang sama seperti: kebakaran hutan, banjir bandang, pencemaran sungai, hingga krisis udara bersih. Ironisnya, bencana ekologis itu sebagian besar berakar dari ulah korporasi besar yang lolos dari jerat hukum.

Sebagai contoh, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat setidaknya 20.788 titik api (hotspot) di sejumlah daerah di Indonesia sepanjang Juli 2024. Hal ironisnya adalah sebanyak 231 di antaranya berada di lahan konsesi milik perusahaan yang pernah terbakar sebelumnya. Artinya, perusahaan yang terbukti membakar hutan tetap beroperasi tanpa adanya sanksi yang setimpal.

Penegakan hukum seperti inilah yang membuat hukum seperti gigi yang sengaja dibiarkan ompong. Sanksi administratif yang harusnya membuat jera, justru sering kali tak diikuti pidana, denda pun tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.

Suara kritis inilah yang perlu saya sampaikan bahwa negara tampak gamang menegakkan hukum ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi besar. Inilah titik di mana janji negara menjaga bumi tampak rapuh, bukan karena aturan tidak ada, melainkan karena aturan itu tak pernah benar-benar ditegakkan.

Dampak Nyata atas Lemahnya Penegakkan Hukum

Kasus kebakaran hutan hanya satu dari banyak kasus bencana ekologis yang diakibatkan dari lemahnya penegakan hukum lingkungan. Setiap kali hutan terbakar, bukan hanya pohon yang lenyap, tapi juga rumah satwa, sumber pangan, hingga udara sehat yang seharusnya kita hirup bersama.

Tak hanya kasus kebakaran hutan, kasus pencemaran sungai akibat limbah industri menghilangkan hak masyarakat atas air bersih. Sementara itu, juga ada tambang ilegal merusak tanah dan memutus ruang hidup warga lokal.

Perlahan tapi pasti, bumi seakan terus dirampas sedikit demi sedikit, dan generasi muda dipaksa mewarisi kerusakan ekologis yang tidak mereka ciptakan.

Lalu muncul kembali pertanyaan, “jika hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru melemah, siapa yang akan benar-benar menjaga bumi?”

Saatnya Suara Kritis Dilantangkan

Di titik ini, suara kritis harus lantang disuarakan bukan hanya dari saya saja, namun kita semua. Yang perlu kita kritisi bahwa Negara seharusnya tidak cukup hanya berjanji, tapi harus membuktikan keberpihakan nyata lewat penegakan hukum yang konsisten dan transparan.

Perusahaan yang terbukti merusak lingkungan mesti dikenai sanksi berat, bukan sekadar denda kecil yang tidak sebanding dengan keuntungan tambang atau perkebunan. Pengawasan juga harus melibatkan masyarakat sipil dan anak muda, karena merekalah yang akan menanggung dampak terburuk krisis iklim. Selain itu, Negara juga harus memulai regulasi pro-lingkungan seperti transisi energi bersih harus dipercepat agar hukum bisa berpartisipasi dalam mencegak bencana ekologis. Kita harus menjaga pedoman bahwa menjaga bumi adalah tugas mendesak yang harus dilaksanakan hari ini.

Pada akhirnya, hukum adalah cermin dari keseriusan negara dalam menjaga bumi. Selama hukum hanya berhenti di janji, kerusakan akan terus berlangsung dan bumi akan semakin sakit. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik kita perlu tetap bersuara kritis agar negara tidak boleh bersembunyi di balik regulasi yang indah, sementara penegakannya dibiarkan lumpuh.

Komitmen negara dalam menjaga bumi sudah seharusnya tak hanya indah diatas kertas namun juga akan lebih bermakna apabila hukum benar-benar ditegakkan. Hukum harus tegas terhadap pelanggar, dan berpihak pada kelestarian lingkungan. Jika tidak, maka bumi akan terus berbicara lewat bencana dan itu adalah bahasa yang paling keras untuk menagih janji dari komitmen negara ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak