Di penghujung 2025, saat jarum jam mendekati akhir tahun, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada ritual kolektif yang penuh ambivalensi. Apa itu? merayakan harapan baru sambil menatap bayang-bayang kekecewaan yang menumpuk sepanjang tahun. Fenomena ini bukan sekadar siklus tahunan, melainkan cerminan dari dinamika sosial yang lebih dalam, di mana ekspektasi kolektif sering kali bertabrakan dengan realitas yang tak terduga.
Tahun ini, khususnya, telah menjadi arena ujian bagi banyak aspek kehidupan nasional, mulai dari ketidakpastian ekonomi yang terus membayangi hingga tekanan politik yang menggerus ruang demokrasi. Di tengah hiruk-pikuk persiapan Tahun Baru, harapan tampak seperti simbol yang rapuh, mudah pudar di bawah beban kolektif yang tak lagi bisa diabaikan. Namun, justru di momen seperti ini, ruang untuk refleksi pribadi muncul sebagai jalan alternatif, bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk memahami posisi diri di tengah arus besar yang tak terelakkan.
Kekecewaan Kolektif di Akhir Tahun yang Berat
Tahun 2025 telah meninggalkan jejak yang kompleks bagi Indonesia, di mana stabilitas sering dijadikan dalih untuk mempertahankan proyek-proyek ambisius, sementara nilai-nilai demokrasi semakin terancam. Catatan akhir tahun dari berbagai lembaga, seperti Dewan Pers dan Yayasan LBH Indonesia, menggambarkan perusakan sistematis terhadap sisa-sisa amanat reformasi, dengan kemerdekaan pers menjadi salah satu korban utama. Indeks Kemerdekaan Pers yang diluncurkan baru-baru ini menunjukkan tren memburuk, terutama di lingkungan politik, ekonomi, dan hukum, di mana jurnalis kerap menghadapi ancaman saat meliput isu sensitif seperti bencana alam atau konflik sosial.
Di bawah pemerintahan yang baru, tekanan ini bukan hanya datang dari regulasi ketat, melainkan juga dari dinamika ekonomi yang membuat media independen sulit bertahan, dengan pendanaan yang semakin bergantung pada kekuatan politik. Kekecewaan kolektif ini terasa semakin dalam ketika harapan awal tahun seperti pemulihan pasca-pandemi atau kemajuan infrastruktur berubah menjadi narasi kegagalan, di mana janji stabilitas justru memperlemah fondasi kebebasan berekspresi.
Alih-alih menjadi pilar pengawasan, pers kini sering dipandang sebagai ancaman, menciptakan iklim di mana informasi publik menjadi barang langka, dan masyarakat terjebak dalam echo chamber media sosial yang penuh distorsi. Fenomena ini memperkuat rasa lelah kolektif, di mana individu merasa menghadapi sistem yang tampaknya tak bisa diubah, sehingga harapan akhir tahun pun terasa seperti ritual kosong, lebih sebagai pelarian daripada katalisator perubahan.
Harapan yang Tersisa di Tengah Tekanan Sistemik
Meskipun kekecewaan mendominasi narasi akhir 2025, harapan tidak sepenuhnya lenyap, ia hanya berubah bentuk, menjadi lebih rapuh dan bergantung pada konteks yang lebih luas. Tema Anugerah Dewan Pers tahun ini, "Tegas Menjaga Kemerdekaan Pers", mencerminkan upaya untuk menjaga ekosistem yang adil, di mana jurnalisme kritis masih dilihat sebagai alat untuk transparansi dan akuntabilitas.
Namun, di balik pesan-pesan ini, tersembunyi ketidakpastian ekonomi yang terus menekan, dengan inflasi yang membayangi dan ketidakstabilan global yang memengaruhi sektor domestik. Harapan kolektif sering kali dibangun di atas fondasi yang goyah, seperti proyek megah yang dijanjikan sebagai simbol kemajuan, padahal ia justru memperlebar kesenjangan sosial. Di Indonesia, di mana budaya gotong royong masih menjadi nilai inti, harapan ini kerap dimanfaatkan sebagai narasi politik untuk menyatukan masyarakat, tapi pada saat yang sama, ia menciptakan ilusi bahwa perubahan bisa datang dari luar, bukan dari inisiatif internal.
Tantangan ini semakin kompleks dengan perubahan teknologi, di mana algoritma media sosial memperkuat polarisasi, membuat harapan bersama terfragmentasi menjadi gelembung-gelembung kecil yang saling bertabrakan. Dengan demikian, harapan di penghujung tahun bukan lagi tentang mimpi besar, melainkan tentang bertahan di tengah badai, di mana individu dipaksa mempertanyakan apakah harapan tersebut masih relevan, atau hanya sekadar mekanisme coping untuk menghadapi realitas yang semakin suram.
Ruang untuk Refleksi Pribadi sebagai Jalan Tengah
Di tengah kekecewaan kolektif yang menyelimuti akhir 2025, ruang untuk refleksi pribadi muncul sebagai bentuk resistensi yang halus, bukan melalui aksi massal, melainkan melalui pemahaman diri yang lebih dalam. Psikologisnya, fenomena ini berakar pada kebutuhan manusia akan kontrol di tengah ketidakpastian, di mana refleksi menjadi alat untuk memproses kekecewaan tanpa terjebak dalam siklus negatif.
Bagi banyak orang di Indonesia, tahun ini telah menjadi ujian resiliensi, di mana tekanan ekonomi dan politik memaksa evaluasi ulang prioritas hidup. Apakah terus bergantung pada narasi nasional, atau membangun harapan yang lebih autentik dari dalam. Refleksi ini bukan berarti mundur dari isu kolektif. Sebaliknya, ia membuka pintu untuk empati yang lebih besar, di mana individu belajar melihat kekecewaan sebagai bagian dari proses adaptif, bukan akhir dari segalanya. Dalam konteks kemerdekaan pers, misalnya, refleksi pribadi bisa berarti mendukung media independen melalui konsumsi informasi yang bijak, atau bahkan berpartisipasi dalam diskusi kecil yang membangun kesadaran bersama.
Alih-alih menunggu perubahan dari atas, ruang ini mengajak kita untuk mengakui keterbatasan, lelah, dan keraguan sebagai elemen manusiawi, sehingga harapan yang lahir darinya lebih berkelanjutan. Di akhir tahun yang penuh tantangan ini, refleksi pribadi menjadi jembatan antara kekecewaan masa lalu dan kemungkinan masa depan, di mana individu tidak lagi terikat pada ekspektasi kolektif yang sering mengecewakan.
Pada akhirnya, penghujung 2025 bukan sekadar akhir dari satu babak, melainkan kesempatan untuk merangkul ambivalensi harapan itu sendiri. Di antara kekecewaan kolektif yang tak terhindarkan dan ruang refleksi yang selalu tersedia, masyarakat Indonesia dihadapkan pada pilihan, apakah terus terjebak dalam narasi besar yang sering gagal, atau membangun fondasi dari yang kecil dan pribadi. Dalam ketenangan momen ini, sebelum lonceng Tahun Baru berdentang, mungkin kita bisa menemukan kedamaian dalam pengakuan bahwa harapan sejati lahir bukan dari euforia sementara, melainkan dari pemahaman yang jujur atas diri dan dunia di sekitar kita.