Di banyak keluarga Indonesia, anak pertama perempuan sering dianggap sebagai sosok yang “paling bisa diandalkan”. Mereka bahkan dituntut menjadi pengganti orang tua saat ada kekosongan peran sementara, guru dadakan untuk adik-adiknya, sekaligus penjaga stabilitas emosional keluarga.
Seolah-olah sejak kecil sudah memiliki kemampuan ekstra untuk mengelola hidup, padahal mereka hanyalah anak-anak biasa yang tumbuh tanpa ‘manual book’ dan tanpa pelatihan tapi diberi tanggung jawab melebihi kapasitas usianya.
Tumbuh Tanpa Manual Book, Tapi Dibebani Standar Dewasa
Jika anak laki-laki sering diizinkan bertumbuh secara bebas, anak perempuan pertama justru diarahkan menjadi “mini ibu” sejak usia dini. Mereka kerap diminta untuk ikut mengurus adik, membantu pekerjaan rumah, hingga teladan sempurna.
Ironisnya, semua ini terjadi tanpa ada panduan sejelas perintah sekolah, tanpa ada perlindungan emosional, dan tanpa ada pemahaman bahwa psikologi anak-anak juga butuh ruang untuk bertumbuh.
Padahal, tumbuh kembang seorang anak sangat dipengaruhi oleh rasa aman, dukungan emosional, dan kesempatan untuk bereksplorasi. Saat anak perempuan pertama dibesarkan dengan beban besar sejak kecil, mereka akan belajar bertahan dan bukan berkembang.
Pertumbuhan mereka akan dipenuhi dengan proses belajar “mengerti keadaan”, bukan mengekspresikan diri. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya Eldest Daughter Syndrome, yaitu kondisi di mana anak perempuan sulung terjebak pada ekspektasi sosial berlebihan hingga berpotensi membentuk pola stres jangka panjang.
Norma Budaya yang Membentuk Tekanan pada Anak Sulung Perempuan
Eldest Daughter Syndrome tidak serta merta muncul dalam keluarga, tapi juga bisa terjadi akibat norma budaya. Ada beberapa faktor yang membuat peran anak pertama perempuan begitu berat, antara lain sebagai berikut.
1. Pola patriarki yang menempatkan perempuan sebagai caregiver
Karena perempuan diasosiasikan dengan kelembutan, mereka dianggap lebih cocok mengurus rumah. Peran ini kemudian dibentuk sejak dini pada anak perempuan sulung dan angsung melekat padanya tanpa mempertimbangkan kesiapan mentalnya.
2. Ekspektasi “anak harus membantu orang tua”
Banyak keluarga menganggap anak perempuan pertama sebagai perpanjangan tangan ibu. Padahal, anak tetaplah anak, bukan asisten domestik apalagi berperan sebagai ‘mini ibu’.
3. Label dewasa sebelum waktunya
Ketika menunjukkan sedikit kedewasaan, anak perempuan sulung segera diberi tanggung jawab tambahan. Mereka dianggap mampu ‘lebih bisa memahami’, meski sebenarnya masih butuh dipahami.
4. Beban moral untuk selalu menjadi contoh
Selain itu, anak perempuan sulung juga punya beban moral untuk selalu menjadi contoh dan teladan untuk adik-adiknya. Mereka diminta sempurna, padahal tidak pernah diajarkan bagaimana menghadapi tekanan itu.
Dari Tuntutan Menjadi Trauma: Potret Eldest Daughter Syndrome
Eldest Daughter Syndrome bukan diagnosis medis, tapi pola perilaku dan tekanan psikologis nyata yang bahkan dampaknya bisa terbawa hingga dewasa.
1. Terbiasa memendam emosi
Karena harus selalu terlihat kuat, mereka belajar untuk tidak mengeluh. Mereka takut dianggap lemah atau membebani keluarga hingga terbiasa memendam emosi.
2. People pleaser kronis
Mereka tumbuh dengan pola ingin membuat semua orang senang. Imbasnya, kebanyakan anak perempuan sulung jadi kesulitan menolak meski sudah kelelahan.
3. Perfeksionis dan takut gagal
Kesalahan kecil terasa seperti bencana bagi anak perempuan pertama. Mereka merasa nilai diri tergantung pada keberhasilan dan kemampuan mengurus semua hal.
4. Inner child yang terluka
Mirisnya lagi, sosok eldest daughter berpotensi kehilangan bagian dari masa kecilnya. Mereka dituntut belajar bertanggung jawab, tapi tidak pernah benar-benar belajar menjadi anak-anak.
5. Burnout di usia muda
Tekanan jangka panjang pada anak perempuan pertama dapat memicu kecemasan, hingga depresi. Kalau tidak segera diatasi, bisa saja muncul potensi ketidakmampuan membangun batasan sehat dalam hubungan.
Sudah saatnya keluarga berhenti menormalisasi beban berlebih pada anak sulung perempuan. Mereka berhak atas masa kecil yang utuh, dukungan emosional, serta kesempatan untuk tumbuh tanpa tekanan yang tidak perlu.
Dan untuk para eldest daughter di luar sana, ingatlah kamu tidak harus selalu kuat. Kamu pantas dicintai, dilindungi, dan dimengerti dengan semua kelemahan yang sebenarnya manusiawi.