Sumatra kembali kebanjiran. Ini bukanlah berita baru, hanya pengulangan. Seolah-olah banjir dan longsor sudah masuk dalam "anggaran tahunan" alam Indonesia, berdampingan manis dengan musim hujan dan rapat koordinasi pascabencana yang hasilnya, ya, begitu-begitu saja. Bedanya, air yang datang kali ini membawa pesan yang sama sekali tidak baru, tetapi terus kita pura-pura tidak dengar karena sibuk menghitung berapa untung dari pembukaan lahan baru.
Pesan itu sederhana: hubungan kita dengan alam sudah lebih keropos daripada tiang pancang yang dibangun di atas rawa. Hutan digunduli, lahan dibuka seenaknya, dan tata ruang diatur seperti teka-teki gambar yang kepingannya dipaksakan oleh pengembang dan politisi lokal. Lalu, ketika air bah datang, kita serempak menunjuk langit. Hujan, selalu hujan, menjadi tersangka utama yang paling mudah dikambinghitamkan.
Padahal, laporan terbaru dan kesaksian warga lokal sudah lama mengaitkan banjir besar dengan deforestasi yang terjadi bertahun-tahun. Di tingkat nasional, BNPB juga mengonfirmasi kenyataan yang seharusnya membuat kita malu: 98% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Artinya, ini bukan sekadar “bencana alam” yang acak, melainkan bencana hasil kerja keras kita sendiri, produk akumulasi dari keputusan buruk yang konsisten.
Kontradiksi Gila-gilaan Menuju Indonesia Emas 2045
Ironisnya, di saat Sumatra tenggelam dalam drama air dan lumpur, Indonesia sedang berlari kencang menuju mimpi besar bernama Indonesia Emas 2045. Dalam dokumen RPJPN, masa depan digambarkan begitu cemerlang dan futuristis: ekonomi modern, kota-kota tumbuh pesat, infrastruktur menjalar ke mana-mana, dan kita siap bersaing di level global. Kita membayangkan diri sebagai Macan Asia baru, sebuah negara yang terkoneksi dan produktif.
Masalahnya, pijakan kita goyah. Kita ingin melompat jauh meraih bintang, tetapi tanah tempat kita berpijak justru terus tergerus. Pertanyaannya menjadi sederhana, menusuk, dan sangat mengganggu: Mau lari ke mana kalau lantainya amblas?
Sumatra adalah etalase paling nyata dari kontradiksi ini. Data Global Forest Watch mencatat hilangnya ratusan ribu hektare hutan primer hanya dalam waktu singkat. KLHK bahkan menyebut 108 daerah aliran sungai dalam kondisi kritis. Ketika hutan lenyap, tanah kehilangan daya serapnya, yang dalam bahasa awam berarti: air tidak lagi meresap, tetapi meluncur bebas ke permukiman. Banjir pun tinggal menunggu jadwal.
Dalam kacamata sosiologi lingkungan, ini disebut Risiko Terstruktur. Bencana tidak muncul tiba-tiba, melainkan dibangun pelan-pelan lewat keputusan yang keliru. Banjir bukan takdir, melainkan hasil akumulasi kebijakan yang dengan gagah berani mengabaikan batas-batas alam.
Membangun Kota, Melupakan Ketahanan
Di sisi lain, negara tetap percaya diri mendorong Urbanisasi Massal. Kebijakan Perkotaan Nasional 2045 memproyeksikan 70% penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Kedengarannya keren, modern, dan berteknologi tinggi.
Tetapi, ada catatan kaki yang sering dilewatkan: Bappenas mencatat 68% kota di Indonesia masih memiliki sistem drainase yang buruk. Kota-kota besar di Sumatra, seperti Medan, Pekanbaru, dan Palembang, yang diharapkan menjadi motor ekonomi 2045, justru masuk dalam zona risiko bencana tinggi menurut BNPB.
Kita ini rajin membangun kota, tetapi malas membangun ketahanan kota. Gedung tumbuh cepat, tetapi saluran air tertinggal. Jalan dilebarkan, sungai dipersempit. Lalu kita heran ketika air, yang sifatnya selalu mencari jalan paling rendah, mengamuk dan mencari jalannya sendiri, melewati ruang tamu kita.
Soal sumber daya manusia (SDM Unggul) juga tak kalah pelik. Kita bicara manusia unggul, tetapi survei KLHK menunjukkan baru 23% masyarakat yang konsisten berperilaku ramah lingkungan. Sisanya? Masih banyak yang menganggap sungai sebagai tempat sampah berjalan atau toilet kolektif.
Ini adalah Ketidaksiapan Kultural yang memalukan. Beton bisa dicetak cepat, tetapi kebiasaan butuh waktu, literasi lingkungan butuh pendidikan yang serius, dan perubahan perilaku tidak bisa dipaksa lewat pidato peresmian jembatan.
Jadi, Indonesia Emas 2045 itu mimpi yang mustahil? Tentu tidak. Namun, mimpi ini perlu diuji realismenya. Dokumen perencanaan memang sudah berbicara soal keberlanjutan. Sayangnya, praktik di lapangan, yang diwakili oleh air bah Sumatra, sering tertinggal jauh di belakang narasi.
Bencana di Sumatra adalah alarm keras. Ia mengingatkan bahwa pembangunan tanpa keseimbangan dengan alam hanya akan melahirkan kemajuan semu: terlihat megah di atas kertas, tetapi rapuh di hadapan air hujan biasa. Indonesia Emas 2045 bukan soal membangun lebih banyak; ini tentang membangun dengan waras. Karena masa depan yang gemilang tidak akan pernah berdiri di atas tanah yang terus kita rusak sendiri.