Mengapa Sulit Berkata 'Tidak'? Menelusuri Akar Psikologis Budaya Mengalah

M. Reza Sulaiman | Davina Aulia
Mengapa Sulit Berkata 'Tidak'? Menelusuri Akar Psikologis Budaya Mengalah
Ilustrasi sekelompok orang yang sedang mengobrol (Unsplash.com/Troy Spoelma)

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang terbiasa mengatakan ‘iya’ meskipun tubuh dan pikirannya sudah kelelahan. Permintaan tambahan tugas, ajakan yang tidak diinginkan, atau kewajiban sosial yang sebenarnya memberatkan tetap diterima dengan alasan tidak enak hati.

Mengalah kerap dianggap sebagai sikap dewasa, bijaksana, dan menjaga harmoni. Namun, di balik kebiasaan tersebut, tidak sedikit individu yang justru merasa tertekan, kehilangan batas diri, dan menyimpan kelelahan emosional yang tidak terlihat.

Fenomena ini bukan semata persoalan kurangnya keterampilan komunikasi asertif. Ketidakmampuan untuk berkata ‘tidak’ sering kali berakar pada dinamika psikologis yang lebih dalam, terbentuk dari pengalaman relasional, pola pengasuhan, serta kebutuhan akan penerimaan sosial. Budaya mengalah kemudian memperkuat pola tersebut, menjadikannya sesuatu yang tampak wajar, bahkan dipuji, meskipun berdampak pada kesejahteraan psikologis individu.

Mengalah sebagai Strategi Bertahan Emosional

Bagi sebagian orang, mengalah bukan sekadar pilihan sikap, melainkan strategi bertahan hidup secara emosional. Individu yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang aman secara emosional, misalnya sering mengalami penolakan, kritik berlebihan, atau ketidakkonsistenan afeksi, akan belajar bahwa penerimaan harus ‘diusahakan’. Mengiyakan permintaan orang lain menjadi cara untuk menghindari konflik dan kehilangan relasi.

Dalam jangka panjang, strategi ini membentuk keyakinan bahwa kebutuhan pribadi tidak sepenting kebutuhan orang lain. Penolakan dipersepsikan sebagai ancaman, bukan sekadar perbedaan pendapat. Akibatnya, individu lebih memilih menekan emosi dan mengorbankan diri demi menjaga hubungan tetap utuh meskipun harus membayar harga berupa kelelahan psikologis.

Takut Menolak, Takut Kehilangan

Ketidakmampuan berkata ‘tidak’ sering berkaitan erat dengan fear of abandonment atau ketakutan akan ditinggalkan. Menolak dipersepsikan bukan hanya sebagai tindakan sederhana, melainkan sebagai risiko kehilangan kasih sayang, penerimaan, atau status dalam relasi sosial. Ketakutan ini membuat individu terus menyesuaikan diri secara berlebihan demi mempertahankan kedekatan dengan orang lain.

Masalahnya, relasi yang dibangun di atas rasa takut cenderung tidak setara. Individu yang selalu mengalah berpotensi terjebak dalam pola relasi yang eksploitatif, di mana batas pribadi tidak dihargai. Dalam kondisi ini, berkata ‘tidak’ terasa seperti tindakan egois, padahal sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan diri yang sehat.

Budaya Kolektif dan Normalisasi Mengalah

Dalam konteks budaya kolektivistik, mengalah sering dimaknai sebagai bentuk kepedulian sosial dan pengendalian diri. Harmoni kelompok ditempatkan di atas kepentingan individu sehingga penolakan kerap diasosiasikan dengan sikap tidak sopan atau tidak tahu diri. Nilai budaya ini, meskipun memiliki sisi positif, dapat memperkuat kecenderungan individu untuk menekan kebutuhan pribadinya.

Ketika budaya mengalah dinormalisasi, individu yang mencoba bersikap asertif justru berisiko mendapatkan penilaian negatif. Hal ini menciptakan dilema psikologis: antara menjaga kesehatan mental atau memenuhi ekspektasi sosial. Tanpa disadari, budaya tersebut dapat memperpanjang siklus kelelahan emosional dan menghambat terbentuknya relasi yang jujur serta sehat.

Belajar Berkata ‘Tidak’ sebagai Proses Psikologis

Berkata ‘tidak’ bukanlah tindakan instan, melainkan proses psikologis yang melibatkan kesadaran diri dan keberanian emosional. Individu perlu mengenali bahwa menolak bukan berarti menolak orangnya, melainkan menolak situasi yang tidak sesuai dengan kapasitas atau nilai pribadi. Proses ini sering kali memunculkan rasa bersalah, terutama bagi mereka yang terbiasa mengalah.

Namun, rasa bersalah tersebut bukan tanda bahwa penolakan itu salah, melainkan sinyal bahwa individu sedang membangun batas baru. Dengan latihan refleksi dan komunikasi yang lebih asertif, berkata ‘tidak’ dapat menjadi sarana untuk membangun relasi yang lebih sehat, setara, dan saling menghargai.

Budaya mengalah dan ketidakmampuan untuk berkata ‘tidak’ tidak bisa dilepaskan dari akar psikologis yang kompleks. Ia terbentuk dari pengalaman emosional, ketakutan akan kehilangan, serta nilai budaya yang menempatkan harmoni di atas kebutuhan individu. Memahami akar ini menjadi langkah awal untuk keluar dari pola mengorbankan diri yang berkepanjangan.

Pada akhirnya, berkata ‘tidak’ bukanlah bentuk penolakan terhadap orang lain, melainkan upaya menjaga diri agar tetap utuh secara psikologis.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak