Melihat perkembangan masyarakat yang kian meningkat, kebutuhan akan ketersediaan pangan yang cukup, aman, dan berkualitas semakin menjadi tuntutan. Ketersediaan pangan yang tidak stabil dapat menimbulkan ketidakstabilan perekonomian dan berbagai gejolak sosial-politik.
Kondisi pangan yang kritis bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan nasional. Pemerintah harus terus melakukan upaya agar Indonesia dapat mewujudkan ketahanan pangan.
Di Indonesia, makanan pokok sering diidentikkan dengan beras, meskipun terdapat kearifan pangan lokal, seperti jagung di Nusa Tenggara Timur (NTT), sagu di Maluku dan Papua, serta ubi jalar di Papua.
Pelaksanaan kebijakan penyeragaman konsumsi beras di seluruh Tanah Air membuat pangan pokok lokal selain beras terabaikan. Konsumsi beras di Indonesia menjadi semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Pada 1954, komposisi karbohidrat dalam struktur menu makanan pokok menunjukkan proporsi beras hanya 53,5 persen. Sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,6 persen, jagung 18,9 persen, dan kentang 4,99 persen. Kondisi tersebut mulai berubah pada era orde baru.
Di akhir tahun 1980, proporsi beras semakin dominan mencapai 81,1 persen, sisanya ubi kayu 10,02 persen dan jagung 7,82 persen. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang kala itu tengah mewujudkan swasembada pangan.
Penyelenggaraan kebijakan swasembada beras dilaksanakan melakukan penyeragaman komoditas pangan nasional, yakni menggunakan beras. Hal tersebut menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai bahan pangan pokok hingga saat ini sangat tinggi.
Beras semakin didorong untuk menjadi bahan pangan utama di seluruh Indonesia. Pemerintah kala itu keliru dan terlalu sempit dalam mengartikan ketahanan pangan.
Sejak swasembada beras berhasil diraih, laju pertumbuhan produksi beras justru cenderung menurun dan semakin tidak stabil, sehingga sejak 1994 Indonesia tidak lagi berswasembada beras.
Indonesia masih mengalami surplus hingga 15 juta ton sampai tahun 2019 dalam hal produksi beras nasional. Namun yang perlu diingat, pertumbuhan penduduk dan berbagai risiko maupun ketidakpastian dapat terjadi sewaktu-waktu yang tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi beras nasional.
Oleh karena itu, ketersediaan beras nasional harus dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan beras nasional.
Pemerintah sedang mengupayakan program diversifikasi pangan untuk mencapai swasembada pangan. Diversifikasi pangan yang sudah berhasil dilakukan pemerintah adalah diversifikasi produk pangan berbasis terigu.
Diversifikasi pangan berbasis terigu tercermin dari berkembangnya industri mi dan roti berbahan baku terigu. Diversifikasi pangan memiliki berbagai tantangan, seperti ketersediaan bahan baku yang terbatas, harga kurang kompetitif dibanding beras, serta produkivitas pangan lokal umumnya masih rendah karena riset terkait varietas maupun teknologi kurang intensif.
Tantangan lain ialah menghadapi tantangan perubahan pola pikir dan konsumsi masyarakat yang masih bergantung pada beras.
Diversifikasi pangan yang dimaksudkan bukan untuk menggantikan beras sepenuhnya, namun mengubah dan memperbaiki pola konsumsi masyakat supaya mengonsumsi lebih beragam jenis pangan dengan mutu gizi yang lebih baik.
Selain itu, Ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan dengan ketersediaan (produksi) pangan di masyarakat turut menjadi permasalahan utama diversifikasi pangan.
Ketergantungan pangan beras dapat dikurangi dengan dikembangkannya diversifikasi pangan sebagai upaya alternatif, sekaligus peningkatan pola pangan yang memenuhi kecukupan nutrisi dan mutu gizi. Namun hingga kini, diversifikasi pangan belum efektif terlaksana.
Pengurangan laju konsumsi melalui upaya diversifikasi pangan belum signifikan karena konsumsi beras per kapita cenderung meningkat.
Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam menyukseskan diversifikasi pangan. Pemerintah perlu membuat suatu gerakan masif untuk mengubah mindset dalam masyarakat terkait makanan pokok.
Beberapa hal yang dapat pemerintah lakukan adalah: peningkatan eksistensi pangan lokal seperti singkong, ubi, kentang, jagung, sukun, dan sebagainya; kebijakan yang lebih terfokus dan berpihak kepada petani; menggelar sosialisasi dan pengembangan pengolahan pascapanen bahan pangan nonberas secara berkelanjutan.
Selain itu juga memastikan kemudahan mendapatkan bahan pangan nonberas yang siap dikonsumsi dengan harga terjangkau serta kontiniutas penyediaannya; dan memberikan contoh kepada masyarakat dengan memulai untuk mengurangi konsumsi beras, yang dapat dilakukan dengan mengganti nasi dengan sumber karbohidrat lain pada acara kenegaraan, jamuan makan di istana kepresidenan, dan sebagainya.
Selain pemerintah, peran masyarakat turut di perhitungkan dalam menyukseskan kebijakan diversifikasi pangan. Hal yang perlu dilakukan masyarakat adalah menumbuhkan kesadaran untuk membantu mewujudkan swasembada melalui penurunan konsumsi beras.
Kesadaran dalam penerapan pangan yang beragam dapat dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Peran lain yang turut diperlukan dalam penuntasan masalah diversifikasi pangan adalah pendidikan.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan materi mata pelajaran pangan lokal dalam kurikulum di sekolah, sehingga sejak dini masyarakat Indonesia telah mengetahui berbagai jenis pangan lokal.
Pengirim : Dwi Arifin, mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB