Rasa tidak percaya diri memang berdampak besar pada cara individu bergaul dengan komunitasnya dan juga sebaliknya bagaimana komunitas memperlakukan individu tersebut. Sebagai contoh, kasus bullying di sekolah sering terjadi pada anak-anak penyendiri yang kurang percaya diri. Sebaliknya, kasus bullying jarang terjadi pada anak yang memiliki rasa percaya diri dan memiliki banyak teman.
Segala pikiran negatif seperti saya tidak pintar, saya tidak mampu, saya pasti tidak bisa dan sebagainya memicu rasa tidak percaya diri pada individu sehingga selalu merasa minder bertemu komunitas dan orang-orang tertentu. Tidak jarang juga, orang-orang yang tidak percaya diri ini jadi kurang pergaulan atau penyendiri dan hanya bergaul dengan orang-orang yang dirasanya selevel dengan dirinya atau sama-sama memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Dampak negatif dari rasa tidak percaya diri seperti tidak dapat mengeluarkan pendapat, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tidak gigih mengejar cita-cita sebenarnya akan merugikan diri sendiri sebab akan menghambat masa depan yang cerah.
Namun, rasa tidak percaya diri tidak selalu bersumber dari pikiran negatif, karena di luar itu ada faktor-faktor lainnya yang memicu individu memiliki rasa tidak percaya diri. Cek yuk, apa saja sih penyebabnya.
1. Individu dengan karakter plegmatis cenderung memiliki rasa tidak percaya diri
Manusia yang dilahirkan dengan bakat karakter plegmatis terlahir dengan rasa tidak percaya diri yang tinggi. Hal ini barangkali akan sulit dipercaya sebab individu plegmatis terkenal dengan sifatnya yang ceria, baik hati, supel, ramah dan karenanya memiliki banyak teman tapi sebenarnya menyimpan rasa tidak percaya diri yang besar.
Orang tua yang bijak,tentu akan mengenali kelebihan dan kekurangan anaknya sejak dini. Karena itulah sejak dini pula orangtua harus mau bersusah payah memperbaiki kekurangan pada anaknya, termasuk si anak plegmatis yang memiliki rasa tidak percaya diri yang besar. Sebab, bagaimanapun ini akan menghambat potensinya.
2. Individu yang tidak memiliki kedekatan dengan ayah cenderung tidak percaya diri
Psikolog klinis anak Anastasia Satriyo dalam Okelifestyle menyatakan bahwa kedekatan emosi ayah dengan anak sangat penting dalam membentuk karakter anak, diantaranya rasa percaya diri, motivasi diri, keberanian dan tanggung jawab.
Rasa percaya diri pada anak terbentuk melalui permainan yang dilakukan bersama ayah yang sifatnya penuh tantangan, olah fisik, menguji nyali. Melalui permainan-permainan seperti ini menantang anak percaya diri dan mencoba hal-hal baru.
Selain itu, melalui permainan seperti ini anak menjadi tahu apa yang disukai dan tidak disukai. Mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai juga penting untuk masa depan anak sebab memudahkan dalam menentukan pilihan karir yang disukai.
Sebaliknya, anak yang kurang bermain dengan ayah dan kurang memiliki kedekatan emosi cenderung tidak percaya diri , saat dewasa ia tidak mengetahui ingin seperti apa di masa depan dan karir seperti apa yang disukainya. Dampaknya secara akademis, ia lulus dengan nilai akademik yang tak memuaskan dan tak tahu karir apa yang disukainya dan mau kemana setelah lulus kuliah.
3. Bentakan pada anak akan membentuk karakter tidak percaya diri
Pernahkah mendengar bahwa bentakan pada anak, terutama pada masa golden age, 1-3 tahun akan menghancurkan milyaran sel-sel otak yang sedang tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, pelukan akan membuat sel-sel otak berkembang lebih banyak lagi, lebih dari 10 triliun.
Menurut dokter spesialis anak Rumah Sakit Omni Pulomas dr. Darmady Darmawan, Sp.A, dalam Orami, berbicara kasar pada balita atau sering membentak anak berdampak buruk pada perkembangan otak dan psikologi anak yang diantaranya menyebabkan anak jadi agresif atau sebaliknya seperti pemalu, rendah diri dan minder.
4. Pola asuh yang salah akan membentuk karakter anak tidak percaya diri
Menurut American Mental Association dalam Theasianparent, pola asuh otoriter pada masa sekarang ini masih mendominasi dengan tujuan akhir membentuk anak yang bertanggung jawab dan disiplin. Pola asuh seperti ini memiliki ciri keras kepada anak tetapi minim respon terhadap anak.
Sebaik apapun tujuannya, jika caranya salah tentu akan memberi dampak yang negatif pada anak. Sebagai orang tua, ada baiknya memperhatikan perkembangan karakter anak sejak dini, jika cenderung ke arah negatif ada baiknya orang tua segera introspeksi diri dan mengubah gaya pengasuhan.
Pola asuh otoriter pada umumnya akan berdampak negatif terhadap psikologi anak. Salah satunya, rasa rendah diri yang banyak ditemui pada anak-anak dengan pola asuh otoriter. Pusat Konseling Universitas Illinois Amerika Serikat dalam Orami menyebutkan bahwa konsep diri yang positif berdampak pada rasa percaya diri. Orang tua otoriter yang terlalu senang mengkritik anak akan membentuk konsep diri negatif pada diri anak. Dampaknya anak akan memiliki rasa percaya diri yang rendah sebab dia merasa dirinya tidak pintar, tidak mampu, tidak kuat, tidak rupawan dan lain sebagainya.
5. Anak bungsu sering merasa tidak percaya diri karena perlakuan yang salah
Pada umumnya anak sulung dalam sebuah keluarga lebih memiliki sifat kepemimpinan daripada adik-adiknya, lebih perfeksionis, lebih pintar secara akademis dan lebih serius. Tidak usah heran, sebab situasi saat ia dilahirkan orang tuanya masih terbilang muda, tak terlalu sibuk, dan memiliki banyak waktu mengembangkan potensi si anak sulung ini. Terlebih saat adik-adiknya lahir, si anak sulung diberi macam-macam tuntutan dan tanggung jawab agar dapat menjadi model yang sempurna untuk adik-adiknya.
Sebaliknya saat si anak bungsu lahir, orang tua sudah tidak muda lagi, sudah sangat lelah dengan berbagai macam kesibukan. Sehingga, perhatian orang tua untuk mengembangkan potensi anak bungsu tidak akan sebesar dan seserius saat pertama kali memiliki buah hati. Oleh karena itu, jangan heran jika umumnya anak bungsu secara akademis tidak akan sebagus kakak-kakaknya. Secara kemandirian, masih di bawah kakak-kakaknya.
Semua kelebihan yang dimiliki kakak-kakaknya sering pula menjadi bahan perbandingan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Kalimat-kalimat seperti kakak-kakaknya lebih pintar, lebih perfeksionis, lebih mandiri dan lebih segala-galanya bagi anak bungsu akan membuatnya patah hati dan secara perlahan menumbuhkan perasaan tidak percaya diri.
Orang tua dan anggota keluarga lainnya lebih sering melihat kelebihan kakak-kakaknya daripada kelebihan anak bungsu, walaupun anak bungsu mendapatkan kasih sayang lebih daripada kakaknya. Padahal anak bungsu bisa jadi memiliki potensi di bidang yang berbeda dari kakak-kakaknya sehingga tak bisa dijadikan perbandingan. Diperparah lagi dengan anggapan anak bungsu tidak tahu apa-apa dan kurang pengalaman hidup sehingga pendapatnya kurang dianggap dan diperhatikan.
Semua perlakukan inferior terhadap anak bungsu semacam ini lambat laun akan menghambat potensinya dan membentuk rasa tidak percaya diri. Padahal percaya diri merupakan sesuatu yang dapat dikembangkan melalui pola asuh yang benar dalam keluarga. Bahkan percaya diri sangat penting untuk memperoleh pencapaian dalam karir, akademik dan tujuan-tujuan hidup lainnya.
Sebuah kesimpulan umum dari Megan Bruneau, seorang terapis kesehatan mental, menyatakan dalam majalah Forbes bahwa percaya diri tidak datang begitu saja, tetapi karena suatu kebiasaan. Menurutnya, rasa tidak percaya diri adalah hal yang wajar, dan umumnya ketika dihadapkan dengan situasi yang tidak familiar atau menjalankan tugas yang baru. Jadi, sebesar apapun rasa percaya diri individu, akan selalu ada situasi-situasi yang membuatnya cemas, yaitu ketika berada dalam situasi yang tidak biasa.
Dengan demikian, anggaplah rasa percaya adalah sebuah keterampilan. Sebuah keterampilan akan menjadi sempurna apabila banyak berlatih, demikian pula rasa percaya diri akan muncul apabila sering dilatih.