DKementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (2020) mencatat kasus kekerasan anak yang terjadi rentang bulan Januari-Juni 2020 sebanyak 1.848 kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan kasus kekerasan yang paling banyak dialami anak dibandingkan kekerasan fisik (852 kasus) dan psikis (768 kasus). Angka ini menunjukkan kekerasan seksual marak terjadi pada anak, sehingga diperlukan adanya upaya penanganan maupun pencegahan dari berbagai lapisan masyarakat.
Pelaku kekerasan seksual saat ini kerap berasal dari orang-orang terdekat korban. Misalnya teman, pacar, orang tua, bahkan anggota keluarga besar lainnya. Dalam penelitian Humaira et al. (2015), 1 dari total 16 sampel kasus kekerasan seksual berasal dari orang yang tidak dikenal. Sedangkan 15 sampel kasus sisanya berasal dari orang terdekat atau orang yang dikenal. Oleh karena itu, setiap anak maupun orang tua perlu untuk lebih waspada mengenai kekerasan seksual.
Salah satu yang berperan penting dalam upaya penanganan dan pencegahan terhadap kekerasan seksual yang dialami anak adalah orang tua. Namun, langkah seperti apa yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mencegah kekerasan seksual terjadi? Empat langkah berikut dapat diterapkan orang tua sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak.
1. Menjalin Komunikasi dan Kehangatan dengan Anak
Komunikasi dapat menjadi upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak. Dengan komunikasi, orang tua akan memberikan informasi kepada anak terkait edukasi seksual. Sebaliknya, komunikasi juga dapat memberikan gambaran kepada orang tua mengenai dengan siapa anaknya berinteraksi dan apa saja yang dialami olehnya.
Komunikasi yang diterapkan dengan anak, yaitu dengan menciptakan komunikasi dua arah. Salah satu bentuk komunikasi dua arah yang dapat dilakukan dengan anak adalah diskusi. Topik yang didiskusikan beragam, tetapi dalam konteks kekerasan seksual, orang tua bisa menanyakan, seperti “Apa yang kamu rasakan kalau ada orang lain menyentuhmu tanpa izin?”. Apabila anak memberikan pendapatnya mengenai topik tersebut, orang tua dapat melanjutkan diskusi dengan edukasi mengenai seks.
Akan tetapi, dalam menjalin komunikasi dengan anak, diperlukan adanya kedekatan. Hal ini dapat dilakukan orang tua salah satunya yaitu dengan cara menjemput anak ke sekolah dan memintanya untuk menceritakan apa saja yang dialaminya.
2. Memberikan Edukasi Seks pada Anak
Meskipun edukasi seks masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat, hal ini dapat menjadi langkah utama dalam mencegah kekerasan seksual pada anak. Edukasi seks ini dapat memberikan pengertian bagi anak bahwa tubuhnya merupakan ranah privat yang tidak bisa disentuh oleh orang lain tanpa persetujuannya dan mereka berhak merasa tidak nyaman apabila ada orang lain yang menyentuh tubuhnya.
Cara-cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk memberikan edukasi seks pada anak menurut Neherta (2017) adalah sebagai berikut:
- Usia 18 bulan: Ajarkan anak mengenai nama-nama bagian tubuh dengan tepat.
- Usia 3-5 tahun: Ajarkan anak mengenai bagian-bagian tubuh privasi serta cara berkata “tidak” untuk tindakan seksual.
- 5-8 tahun: Ajarkan perbedaan antara “sentuhan baik” dan “sentuhan buruk” agar anak dapat menjaga diri ketika berada di luar rumah.
- 8-12 tahun: Diskusikan mengenai keamanan diri dan aturan perilaku seksual yang diterima oleh keluarga.
3. Melakukan Deteksi Dini
Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual tidak selalu memiliki tanda yang jelas. Beberapa anak mungkin akan berusaha menutupi apa yang dialaminya dengan tidak menceritakan kekerasan tersebut kepada orang tua. Namun, orang tua perlu mewaspadai hal-hal yang mencurigakan tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu panjang, yaitu:
- Anak mengalami perubahan sikap yang drastis/mendadak. Hal ini bisa dilihat apabila anak yang semula ceria dan ramah tiba-tiba menjadi murung dan menghindari orang lain.
- Anak mengeluhkan rasa sakit pada bagian tubuhnya, terutama pada bagian alat kelaminnya.
- Anak mengompol, padahal sebelumnya tidak pernah mengompol lagi.
- Anak mengalami penurunan dalam prestasi belajar.
- Anak meminta agar tidak ditinggalkan sendiri
Apabila orang tua mendapati tanda-tanda tersebut pada anak, jangan ragu untuk langsung membawa anak menuju dokter anak atau psikolog anak untuk memeriksakan kondisi fisik dan psikologisnya.
4. Mengajarkan Anak untuk Membuat Batasan
Batasan atau boundaries perlu dibicarakan dengan anak. Dalam konteks ini, anak perlu diajarkan untuk mengatakan tidak atau menolak secara tegas apabila ada orang lain yang ingin menyentuh tubuhnya. Anak juga perlu diajari untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Itulah cara mencegah kekerasan seksual pada anak yang wajib diterapkan oleh orang tua. Jauhkan anak dari kekerasan seksual yang tentu saja membahayakan.
Referensi:
Humaira, D., Rohmah, N., Rifanda, N., Novitasari, K., Diena, U., & Nuqul, F. L. (2015). Kekerasan seksual pada anak: Telaah relasi pelaku korban dan kerentanan pada anak. Jurnal Psikoislamika, 12(2), 5-10.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020). Angka kekerasan terhadap anak tinggi di masa pandemi, Kemen PPPA sosialisasikan protokol perlindungan anak. Tersedia di:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-perlindungan-anak.
Neherta, M. (2017). Modul intervensi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Universitas Andalas: Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Penulis:
Azhara Sherlina Putri, Hanifah Nurul Qisti, Muhammad Adji Kamandanu, M. Habib Alfarisyi, Rizki Adinda, Thereshya Kenzela Sinaga, dan Tiffany Aulia Fauziah.