Di dunia yang serba cepat saat ini, ada sebuah kepercayaan umum yang sering kita dengar. Semakin sibuk seseorang, bisa dikatakan orang itu sukses. Banyak orang mengukur kesuksesan mereka dari seberapa sibuknya jadwal mereka, berapa banyak tugas atau pekerjaan yang mereka selesaikan dalam sehari, atau seberapa sering mereka bekerja lembur. Namun apakah sibuk merupakan tanda kesuksesan? Atau hanya mitos belaka yang membuat kita terjebak dalam siklus kerja yang tiada akhir?
Dalam budaya kerja modern, aktivitas seringkali disamakan dengan produktivitas. Jika kita selalu sibuk berarti kita sedang produktif dan ini dianggap positif. Namun tidak semua kegiatan efektif.
Ada satu ungkapan yang menarik "produktivitas sejati berasal dari fokus yang mendalam dan pekerjaan yang berkualitas, bukan dari sedikitnya jumlah tugas yang kita selesaikan setiap hari". Kita mungkin sibuk sepanjang hari menjawab email, menghadiri rapat, atau melakukan banyak hal yang sebenarnya itu tidak terlalu penting, namun apakah hal itu benar-benar membuat kita semakin dekat dengan tujuan utama kita?
Menurut pendapat saya, pemahaman ini bisa membuat seseorang tidak tahu arti yang sebenarnya dari sebuah produktivitas . Saya sering melihat orang-orang, termasuk saya sendiri, terjebak dalam pemikiran bahwa jika kita tidak sibuk, berarti kita tidak bekerja cukup keras.
Faktanya, jika direnungkan, sebagian besar aktivitas ini hanya memberikan ilusi produktivitas. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk melakukan banyak hal yang sebenarnya itu tidak terlalu penting mungkin membuat kita merasa sibuk, namun di sisi lain, kita mungkin mengabaikan pekerjaan yang sebenarnya lebih penting. Kesibukan yang tidak jelas bisa menyembunyikan fakta bahwa kita tidak bergerak maju. Saya percaya bahwa kesuksesan sejati datang bukan dari aktivitas kita tapi dari fokus kita pada hal-hal yang benar-benar penting.
Menurut sebuah artikel oleh Russell Carpenter dkk, “aktivitas berlebihan justru dapat merusak kreativitas dan keterampilan berpikir kritis.” Jadi, semakin kita terjebak dalam lingkaran setan “keharusan sibuk”, semakin kita kehilangan perspektif dalam melihat gambaran besarnya. Kita menjadi lebih reaktif daripada proaktif.
Fenomena ini yang terjadi di masyarakat modern sekarang, khususnya di era digital, seringkali mengidolakan aktivitas sebagai simbol status. Semakin banyak kita berbuat, semakin kita terlihat “layak”. Namun kenyataannya, kita bisa saja sibuk tanpa benar-benar produktif. Media sosial dan budaya kerja saat ini pun membantu memperkuat fenomena ini. kita mudah terjebak dalam pola yang membuat kita merasa harus menyombongkan betapa sibuknya hidup kita.
Jika kita tidak bisa melakukan ini, kita dianggap belum cukup “sukses”. Ini menjadi masalah besar karena kita sering lupa bahwa waktu istirahat, waktu refleksi, dan momen hening juga merupakan bagian dari produktivitas. Padahal Kesuksesan tidak diukur dari seberapa aktif kita, tapi dari kualitas hidup yang kita jalani dan dampak yang kita buat. Saya menemukan banyak sekali orang yang merasa bersalah saat istirahat, padahal di momen-momen inilah ide-ide kreatif muncul dan perspektif baru terbuka.
Jadi kesuksesan tidak bergantung pada jumlah tugas yang kita selesaikan dalam sehari, tetapi pada apakah kita dapat fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, menjaga diri sendiri, dan hidup seimbang. Fenomena kesibukan justru menimbulkan stres yang tidak perlu dan seringkali membuat kita kehilangan fokus terhadap makna hidup yang sebenarnya.
Ubah cara berpikir kita tentang produktivitas! Daripada mengisi hari dengan aktivitas tanpa akhir, fokuslah pada hal-hal yang benar-benar penting. Mulailah dengan membuat prioritas, bekerja lebih cerdas, dan menyediakan waktu untuk perawatan diri. Ingat, produktivitas sejati tidak bergantung pada apa yang kita lakukan, namun pada seberapa dekat tindakan kita dalam mencapai tujuan dan kebahagiaan. Yuk, lebih produktif dengan melakukan hal-hal bermakna, bukan sekadar sibuk!