Generasi Z dikenal sebagai generasi yang tumbuh berdampingan dengan teknologi, media sosial, dan tren yang terus berganti. Perkembangan tren saat ini berputar pesat pada fashion, teknologi, dan juga gaya hidup.
Beberapa waktu terakhir, fenomena “pelari kalcer” atau running culture menjadi ramai di berbagai kota-kota besar di Indonesia, sebuah gerakan yang dimotori oleh anak muda.
Kalau kamu aktif di TikTok atau Instagram, pasti sudah tidak asing lagi melihat deretan akun yang memamerkan pace lari di Strava. Mulai dari jarak trek lari yang dipamerkan hingga rute estetik berbentuk hati dan pola unik lainnya.
Bukan cuma itu, outfit lari juga menjadi sorotan utama. Mulai dari sepatu plat karbon yang harganya jutaan, baju lari yang ringan, bandana, sampai kacamata hitam yang kekinian, semua ikut tampil di feed Instagram.
Fenomena ini bukan hanya sekadar olahraga, tapi sudah bertransformasi menjadi gaya hidup dan budaya populer. Media sosial bahkan menunjukkan tren pelari kalcer sering kali lebih fokus pada penampilan dibanding performa lari. Pada tren ini, catatan pace atau jarak memang penting, tapi penampilan seseorang saat berlari menjadi nilai utama dalam komunitas.
Tren ini pun telah merembet ke kalangan figur publik. Beberapa selebritas ikut membagikan momen lari mereka di media sosial. Misalnya, Chicco Jerikho yang turut mengunggah konten lari pada akun TikToknya. Bahkan pasangan Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar pernah membagikan momen lari pagi mereka dengan penampilan yang sangat stylish.
Salah satu sosok yang mempunyai andil dalam mempopulerkan istilah pelari kalcer adalah Sastra Silalahi, seorang content creator yang aktif mengulas gaya hidup Gen Z. Ia kerap mengunggah konten lari dengan menggunakan sound "pelari kalcer" yang ia ciptakan sendiri.
Tak sampai di situ, tren ini juga berhasil membuka ide usaha baru, seperti munculnya joki Strava di media sosial, di mana orang dibayar untuk berlari demi mendapatkan hasil Strava yang lebih baik bagi kliennya.
Lantas, apakah tren ini hanya sekadar pamer? Ternyata, data global mendukung bahwa Gen Z memang memiliki motivasi yang berbeda dalam berolahraga.
Data Strava Membenarkan Semuanya: Koneksi di Atas Kompetisi
Layanan pelacak kebugaran, Strava, baru-baru ini mengungkap data olahraga yang terekam di aplikasinya sepanjang tahun 2024. Dalam laporan tahunan berjudul “Year In Sport: The Trend Report”, terungkap bahwa salah satu tren terbesar adalah pergeseran prioritas dalam berolahraga di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z.
Salah satu poin utama dalam laporan Strava adalah adanya peningkatan minat yang signifikan terhadap klub lari dan aktivitas olahraga berkelompok. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin lebih fokus pada pencapaian individu, Gen Z melihat olahraga sebagai sarana untuk membangun koneksi dan bersosialisasi.
Bagi mereka, lari bukan lagi sekadar upaya untuk memecahkan rekor pribadi, melainkan sebuah kesempatan untuk healing bersama teman, memperluas jaringan, dan menjaga kesehatan mental.
"Munculnya rutinitas olahraga yang lebih santai dan mementingkan koneksi sosial membuktikan bahwa olahraga bukan lagi tentang kelelahan," kata Zipporah Allen, Chief Business Officer Strava.
Secara keseluruhan, laporan Strava ini menjadi validasi bagi fenomena "pelari kalcer". Ini bukanlah tren yang dangkal, melainkan sebuah pergeseran budaya di mana olahraga menjadi bagian integral dari gaya hidup sosial Gen Z, sebuah gerakan yang diperkirakan akan terus berkembang di masa depan. Gimana menurut kamu?
Penulis: Flovian Aiko