Pungli di Sekolah Negeri: Gejala Sistemik yang Tak Boleh Dianggap Normal

Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Pungli di Sekolah Negeri: Gejala Sistemik yang Tak Boleh Dianggap Normal
Ilustrasi Pendidikan Indonesia (Unsplash/Husniati Salma)

Dalam satu dekade terakhir, tanpa banyak orang sadari, praktik pungutan liar (pungli) di sekolah negeri semakin marak dan canggih. Fenomenanya bukan lagi kasus kecil yang bisa disapu di bawah karpet, tapi sudah jadi pola sistemik yang didasari oleh kekurangan anggaran, tata kelola yang lemah, dan normalisasi pungutan yang seakan dianggap sebagai bagian rutin dari sekolah negeri.

Banyak orang tua baru menyadarinya ketika diminta “sumbangan wajib”, “uang kegiatan”, “uang komite”, “uang perpisahan”, hingga iuran pembangunan yang jumlahnya tidak kecil.

Ironisnya, di tengah ambisi pemerintah menggulirkan program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran ratusan triliun rupiah per tahun, sekolah negeri justru semakin kreatif mencari pemasukan tambahan.

Banyak pihak mempertanyakan, jika pendidikan dasar sampai menengah semestinya gratis sesuai mandat konstitusi, mengapa justru pungutan semakin marak?

Mengapa Pungli Terjadi dan Semakin Parah?

Pertama, ketimpangan anggaran operasional. Dana BOS sering kali tidak cukup untuk menutup kebutuhan sekolah, terutama sekolah dengan jumlah siswa sedikit atau sekolah yang ingin meningkatkan fasilitas.

Guru honorer banyak bergantung pada iuran orang tua karena gajinya tidak layak. Kondisi ini mendorong sekolah mencari jalan pintas yang tidak sepenuhnya legal.

Kedua, minimnya pengawasan dan lemahnya komite sekolah. Struktur komite yang idealnya mewakili suara orang tua justru kerap menjadi stempel persetujuan pungutan dengan dalih musyawarah. Padahal banyak orang tua yang tidak benar-benar setuju, tetapi merasa tidak punya posisi tawar.

Ketiga, ruang abu-abu dalam regulasi. Aturan menyebutkan sekolah negeri tidak boleh melakukan pungutan wajib, namun masih membuka ruang untuk “sumbangan sukarela”. Dalam praktiknya, istilah sukarela sering berubah menjadi kewajiban yang tidak tertulis.

Hasil akhirnya: pungli berjalan, masyarakat diam, dan sekolah merasa itu satu-satunya cara bertahan.

Jika Dibiarkan, Sekolah Negeri Bisa Bernasib Sama dengan Perguruan Tinggi Negeri

Dampak jangka panjangnya sungguh mengkhawatirkan. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin sekolah negeri akan berubah seperti universitas negeri saat ini—di mana biaya kuliah mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah per semester. Model ini muncul karena disahkannya skema biaya pendidikan berlapis, dan kini dianggap “wajar”.

Apakah 10–20 tahun lagi kita akan melihat SD, SMP, dan SMA negeri mengenakan SPP resmi bernilai jutaan? Apakah pendidikan dasar akan berubah menjadi layanan berbayar dengan dalih kualitas?

Jika ya, maka akses pendidikan akan semakin timpang. Anak dari keluarga berpenghasilan rendah akan tersingkir secara perlahan. Bukan karena kemampuan akademik, tetapi karena tidak sanggup membayar biaya sekolah negeri yang seharusnya gratis.

Bahaya Normalisasi Pungutan

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana publik mulai membenarkan pungutan tersebut. Narasi seperti “untuk guru honorer”, “untuk lomba”, “untuk fasilitas”, “swasta saja boleh” menjadi pembenar yang semakin mengikis fungsi negara dalam menyelenggarakan pendidikan gratis.

Ketika masyarakat menerima pungutan sebagai sesuatu yang lumrah, pemerintah justru leluasa mengalihkan prioritas anggaran ke program lain, sementara sekolah negeri dibiarkan menutupi kekurangan biaya sendiri.

Ke Mana Pendidikan Nasional Akan Dibawa?

Pertanyaan akhirnya sederhana namun mendesak, apakah bangsa ini rela menjadikan pendidikan dasar sebagai komoditas berbayar?

Jika pungli tidak dicegah dan tidak ada reformasi pendanaan sekolah negeri, kita akan melihat jurang ketidakadilan pendidikan semakin melebar. Pendidikan bukan hanya soal gedung, buku, atau program besar bernilai triliunan. Tetapi soal memastikan setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, mendapat kesempatan belajar yang layak.

Sebelum semuanya benar-benar “dilegalkan”, diskusi publik harus makin keras. Jika tidak, masa depan pendidikan negeri bisa meluncur ke arah yang tidak kita inginkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak