Hijau Jadi Tempat Aman: Kenapa Gen Z Lebih Nyaman Cerita di Close Friend?

Hayuning Ratri Hapsari | Ancilla Vinta Nugraha
Hijau Jadi Tempat Aman: Kenapa Gen Z Lebih Nyaman Cerita di Close Friend?
Ilustrasi story Instagram (Unsplash/Georgia de Lotz)

Di balik lingkaran hijau Instagram, Gen Z menemukan ruang curhat yang terasa lebih aman. Mulai dari drama pertemanan, keresahan soal kuliah, sampai rahasia percintaan, semuanya bisa ditumpahkan. Bagi mereka, close friend bukan sekadar fitur, tapi semacam “zona privat” di dunia digital yang serba terbuka. 

Berbeda dengan unggahan story biasa yang menjadi konsumsi semua orang, fitur close friend memberikan kebebasan untuk memilih siapa saja yang berhak melihat story tersebut. Lingkaran hijau itu justru jadi tempat yang lebih intim untuk membagikan hal-hal yang bersifat personal, tapi juga terlalu berat kalau hanya dipendam sendiri. 

Fenomena ini menggambarkan karakter Gen Z, yang ingin tetap eksis di media sosial, tapi dengan batasan yang mereka tentukan sendiri. Pengguna cenderung dapat tetap menjaga citranya di feeds dan story biasa, sementara di close friend mereka bisa lebih bebas berekspresi. 

Tak jarang, curhatan di close friend justru berubah menjadi hiburan internal atau sekadar update keseharian yang hanya lucu bagi lingkaran pertemanannya. Dinamika inilah yang menciptakan rasa kebersamaan yang lebih intim, eksklusif, dan akrab. 

Meski begitu, hadirnya lingkaran hijau tentu bukan tanpa risiko. Kebocoran cerita atau screenshot yang menyebar ke luar lingkaran kerap jadi momok. Namun, bagi banyak Gen Z, risiko itu dianggap wajar. Mereka tetap merasa lebih nyaman berbagi di sana ketimbang di ruang publik digital. 

Beberapa Gen Z cenderung memilih fitur close friend untuk curhat soal percintaan, lengkap dengan update story lagu galau sebagai latar. Ada juga yang menjadikan close friend sebagai tempat “venting” tentang tugas kuliah menumpuk, sambil posting foto kopi jam 2 pagi. 

Tidak jarang, lingkaran hijau itu juga dipenuhi konten random: mulai dari selfie kocak tanpa filter, meme internal yang cuma dimengerti teman tertentu. Hingga sekadar membagikan cerita receh tentang drama kehidupan sehari-hari. 

Bagi sebagian Gen Z, close friend bahkan berfungsi sebagai “panggung kecil” untuk mencoba hal-hal yang tak berani ditampilkan di story publik. Beberapa yang ditampilkan adalah unjuk bakat nyanyi, dance, atau sekadar beropini tentang isu viral. Rasanya lebih aman karena audiensnya dipilih sendiri, jadi tidak perlu takut di-judge orang lain.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kehadiran close friend bukan sekadar soal teknologi, melainkan juga kebutuhan emosional. Di tengah media sosial yang serba terbuka, Gen Z butuh ruang yang lebih privat untuk menyeimbangkan antara citra dan kejujuran diri.

Close friend jadi alternatif agar eksis tetap jalan, tapi tetap ada ruang untuk sisi rapuh yang lebih nyaman untuk ditampilkan pada orang-orang tertentu.

Namun, di sisi lain, pola ini juga menyingkap paradoks bahwa privasi di era digital kini dapat didefinisikan ulang. Apa yang dulu mungkin ditulis di buku harian, kini berpindah ke ruang virtual dengan batasan buatan. Artinya, “privat” di media sosial sebenarnya tetap relatif karena masih ada kemungkinan cerita tersebar ke luar lingkaran.

Meski begitu, justru di situlah letak menariknya. Close friend memperlihatkan bagaimana Gen Z bernegosiasi dengan dunia maya: mereka sadar risikonya, tapi tetap memilih berbagi. Ada kebutuhan untuk didengar, meski hanya oleh segelintir orang. Ada pula kerinduan akan koneksi yang lebih autentik, meskipun lewat layar.

Hingga pada akhirnya lingkaran hijau jadi ruang aman dan nyaman di tengah media sosial yang serba ramai. Tempat di mana Gen Z bisa tertawa, curhat, dan jadi diri sendiri tanpa banyak basa-basi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak