“Penanggulangan” dapat diartikan sebagai pencegahan dan pemberantasan. Di Indonesia, kedua fungsi pencegahan dan pemberantasan sering rancu. Misalnya, fungsi KPK disamping untuk “memberantas” juga diharapkan untuk “mencegah.” Sesuai namanya, KPK lebih cocok memberantas dan inipun sudah sangat berat karena banyaknya kasus, kurang petugas dan fasilitas. Kalau mau revisi undang-unadang Tipikor, mestinya KPK tidak usah menangani pencegahan karena itu domain eksekutif.
Bolehlah kalau sekedar memberi umpan balik dan saran-saran perbaikan peraturan dan sebagainya. Bahkan, bisa dibudayakan rapat kerja satu kali dalam setahun khusus membahas masukan (modus korupsi, kelemahan peraturan dll) dari aparat pemberantas korupsi (KPK, Kejaksaan, Kepolisian) dengan BPK, Bappenas, Kemenkeu, Kemenpan dsb untuk memperbaiki peraturan dan kebijakan tentang pengelolaan proyek/dana.
Instansi pemberantas sebenarnya banyak (termasuk pegawainya) seperti kepolisian dan dan kejaksaan yang organisasinya ada sampai ketingkat kabupaten/kota. Akan tetapi kurang efektif karena orang-orang salah pilih dalam rekrutmen akibatnya memiliki tenaga yang kurang mampu dan bermental korup. Disamping itu komitmen dan motivasi institusinya juga kurang kuat.
Pencegahan korupsi semestinya dilakukan oleh eksekutif (Pemerintah dan Pemda). Fungsi manajemen yang lebih tepat untuk pencegahan ini adalah pengendalian (control). Pengendalian terdiri dari dua bentuk yaitu pengendalian pencegahan (preventive control) dan pengendalian korektif (corrective control).
Pengendalian pencegahan: mekanisme yang dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan sehingga dapat meminimalkan kebutuhan tindakan koreksi. Beberapa contoh perangkat yang digunakan pada pengendalian pencegahan adalah peraturan, standar, prosedur(SOP), rekrutmen dan seleksi pejabat/pegawai dan pelatihan.
Pengendalian korektif : mekanisme untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku atau hasil yang tidak diinginkan sehingga mencapai kesesuaian dengan peraturan dan standar institusi. Contoh perangkat pengendalian korektif antara lain mengukur/menguji proses selama pelaksanaan dan segera melakukan tindakan koreksi tentang jika ada penyimpangan.
Di Indonesia, saat ini institusi pencegahan disisi hulu adalah Kementerian Aparatur Negara yang seharusnya menyusun berbagai ketentuan tentang sistem rekrutmen pejabat, perilaku dan kompensasi. Badan Kepegawaian Negara yang menyusun sistem rekrutmen pegawai negeri yang mengiliminer masuknya pegawai yang berakhlak kurang baik (psikotest?)
Perlu dianalisis jumlah PNS yang diperlukan karena dinilai terlalu banyak, padahal pekerjaan telah dibantu komputer dan Web. Jumlah yang lebih kecil (1/3 dari sekarang) memungkinkan meningkatkan gaji secara bermakna. Apalagi diera otonomi daerah, kok jumlah PNS pusat nambah terus?
Berbagai undang-undang dan peraturan perlu direview secara mendalam oleh Kemenhumkam untuk mendukung penanggulangan korupsi. Bappenas, Kementerian Keuangan, Dirjen Cipta Karya harus memperbaiki Kepres tentang Pengelolaan Proyek Pembangunan yang selama ini cenderung diperbaiki secara “tambal sulam” dan masih mudah ditembus para koruptor. Standar harga bangunan yang dususun Dirjen Cipta Karya setiap tahun cenderung terlalu besar (25-30 %) sehingga merugikan keuangan negara.
Institusi pemeriksa/audit proyek pembangunan juga tumpang tindih dan mengeluarkan dana sangat besar (untuk gaji, fasilitas dan overhead), tapi kurang efektif. BPKP cenderung “melindungi” Kepala Pemerintahan dan ITJEN cenderung “melindungi” Menteri. Keduanya tidak ada dalam UUD 1945 karena hanya menyebut BPK sebagai institusi pmeriksa keuangan.
Pada era Habibie BPKP nyaris bubar tapi entah kenapa bisa eksis lagi. Ketiga institusi ini memiliki standar pemeriksaan yang berbeda. Sering terjadi suatu kasus dinilai benar oleh ITJEN tapi disalahkan BPKP dan BPK. Begitu pula suatu ketika disalahkan BPK tetapi BPKP bilang benar. Ini sangat menggangu dan membingungkan pengelola proyek.
Disarankan ITJEN sebaiknya berperan dalam pengendalian proyek baik preventive maupun correctiv control. Pada sisi preventif control ITJEN dapat mengendalikan rekrutmen pejabat (eselon II kebawah) dan Pejabat Pemegang Komitmen (PPK) pada sisi corecctive control dapat mengawal proyek-proyek bernilai besar mulai dari tahap perencanaan/perancangan, pelelangan dan pelaksanaan. Jumlah pegawai ITJEN yang ratusan itu dapat didistribusikan keseluruh direktorat Kementerian. Apa yang telah diterapkan di Kemenag perlu disempurnakan, distandarisasi dan disebarkan keseluruh kementerian dan Pemda.
Adapun BPKP, sebaiknya dilebur saja untuk memperkuat barisan BPK sehingga memiliki persepsi dan cara kerja yang sama. Perlu dianalisis jumlah pegawai BPK untuk efisiensi. Kalau ekskutif juga mau berperan, istilah “pengawasan melekat” yang tidak jelas itu sebaiknya diintegrasikan kedalam rapat-rapat Monev yang sampai saat masih belum efektif padahal dinilai sangat penting dalam menilai kinerja institusi secara berjenjang (jenjang semakin tinggi mestinya lebih mengarah memonev outcomes dan impacts proyek pembangunan).
Indikator kinerja mestinya telah ditentukan pada saat proses perencanaan. Saat ini sistem akuntabilitas kinerja telah melaksana, tetapi perlu direvitalisasi dengan menekankan keterlibatan pejabat struktural dari Menteri kebawah secara aktif sehingga tidak ada alasan seorang menteri “tidak tahu” apa-apa dan bisa lepas tangan tentang pelaksanaan kegiatan/proyek, apalagi yang nilainya besar.
Mestinya dalam rapat evaluasi (3 bulanan) yang diselenggarakan secara teratur, semua kegiatan proyek/rutin dievaluasi bersamaan karena berkaitan dengan pencapaian tujuan kementerian secara menyeluruh.
Dikirim oleh Darwin Kadarisman, Dosen Universtas Brawijaya, Malang
Anda memiliki cerita atau foto menarik? Silakan kirim ke email: [email protected]