Bintang Lima Buat Siapa?

Angelina Donna | Angelina Donna
Bintang Lima Buat Siapa?
Jokowi Terima Din Syamsudin

Sekitar tahun 1995, saat masih menjadi reporter culun, saya pernah mewawancarai Jenderal TNI Purn. Abdul Haris Nasution di rumah beliau di jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, yang asri. Saat itu bekas Menteri/Kepala Staf Angkatan Perang ini masih sehat, dan belum diangkat menjadi Jenderal Besar bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman, dan Penguasa Orde Baru, Jenderal Soeharto. Saat itu kami sedang memperbincangkan tentang pengalaman beliau di masa Orde Lama ketika Presiden Soekarno masih menjabat.

Saat itu, Pak Nas bercerita tentang keinginan Presiden Soekarno untuk memiliki pangkat kemiliteran. "Walaupun sipil, Soekarno itu suka bergaya seperti tentara, pakai bintang-bintang jasa. Jas yang dipakainya dibuat seperti jas tentara,” ujarnya sambil tertawa kecil. Kemudian Pak Nas bercerita, bahwa pada suatu saat Presiden Soekarno pernah meminta dibuatkan pangkat bintang lima. “Tapi saya tidak kasih. Dia marah kepada saya, dan kemudian membuat bintang lima sendiri... hehehe... Jadi bentuknya seperti itu...," kata Pak Nas menceritakan duduk masalah, mengapa bintang lima yang dipakai Presiden Soekarno berbentuk memanjang, bukan bintang lima memutar seperti pangkat Jenderal Besar, atau General of the Army, atau Field Marshal...

Saat ini ternyata ada pula yang berharap agar Presiden kita yang sipil, Mas Joko Widodo juga diberi pangkat Jenderal berbintang lima. “Gelar bintang lima untuk presiden itu otomatis diberikan pada presiden yang menjabat selama dia menjabat saja. Ketika sudah tidak menjabat maka bintang lima tersebut pun dicabut,” kata ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin. Pemberian pangkat bintang lima kepada presiden, kate Irman akan menambah kewibawaan Presiden.

Memang, cerita Pak Nas tentang bintang lima Presiden Soekarno agak berbeda dengan usul bintang lima untuk Presiden Jokowi, sebagaimana usul Irman Putra Sidin yang didukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Sebab, Jokowi justru tidak meminta pangkat apapun. Pemberian pangkat bintang lima itu hanya usul belaka. Tapi tampaknya usul ini perlu dicermati, dan bahkan diluruskan. Sebab, bila tidak, pemberian pangkat bintang lima bukan menuai penghormatan, namun justru menjadi janggal, dan bahkan bias mengandung jebakan yang berbahaya.

Kita tentu masih ingat bahkan pengangkatan Presiden Jokowi sebagai anggota kehormatan TNI dan beberapa satuan TNI beberapa waktu lalu sesungguhnya mengandung kejanggalan dan paradox yang menyedihkan. Sebab, menurut pasal 10 UUD 1945 disebutkan bahwa “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara.” Jadi seharusnya presiden tak perlu diangkat menjadi warga kehormatan, karena seorang presiden justru berada di atas semua angkatan karena dia adalah pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata.

Meski bukan permintaan Mas Presiden, usul pemberian pangkat Jenderal besar dengan bintang lima di pundak untuk seorang Presiden yang berlatar belakang sipil sungguh sesuatu yang janggal. Sebab, pangkat adalah pengakuan bagi seorang anggota militer atas kredibilitas dan kemampuannya dalam dunia kemiliteran. Seorang sipil boleh saja mendapatkan bintang dan tanda jasa, seperti yang diterima para pejabat negara sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, maupun saat ini, tapi bukan pangkat kemiliteran.

Rasanya setiap tentara faham tentang etika kepangkatan ini. Panglima TNI yang waras, seperti Pak Nas, tentu tidak akan sembarangan memberikan bintang kepada orang sipil. Kita masih ingat, bahwa pemberian bintang lima kepada Jenderal Soedirman, Jenderal AH Nasoetion, maupun Jenderal Soeharto, yang sudah sudah pensiun dan bahkan sudah almarhum pada 5 Oktober 1997 itu tetap saja mengandung nuansa politis. Di masa Orde Reformasi ini, tentu kita tak perlu mengulang kesalahan yang tidak perlu itu.

Bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun urung menerima anugerah kehormatan bintang lima, meski para pendukungnya sempat mengomporinya. SBY tampaknya maklum, pangkat kemiliterannya sudah selesai pada pangkat Letnan Jenderal dalam posisi Kepala Staf territorial TNI, ketika ia diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Baru di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, SBY kemudian mendapatkan bintang empat, sebagai Jenderal Kehormatan.

Memang, ada beberapa orang mendapat gelar Jenderal Kehormatan. Mantan Menko Polkam Soesilo Soedarman-lah yang mengawali gelombang pangkat Jenderal Kehormatan ini. Semula ia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Namun, karena sebagai Menkopolkam membawahi para yuniornya yang berpangkat jenderal, maka Abituren Militer Akademi Jogja itu “nyuwun pangkat” satu bintang lagi kepada Presiden Soeharto. Permintaan itu pun diluluskan oleh Presiden Soeharto. Saat itu majalah saya, majalah Forum Keadilan, didamprat Pak Soes gara-gara menulis tentang dagelan “nyuwun pangkat” itu.

Presiden Abdurrahman Wahid adalah presiden yang royal memberi pangkat Jenderal Kehormatan. Di masa kepemimpinannya ada tiga orang yang diangkat menjadi Jenderal Kehormatan. Mereka adalah Letnan Jenderal TNI Agum Gumelar saat diangkat menjadi Menkopolhukkam menggantikan Yudhoyono, Letnan Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan saat diangkat menjadi Menteri Perdagangan, dan Mayor Jenderal TNI Soerjadi Soedirdja. Bahkan Soerjadi Soedirja mendapatkan Jenderal Penghargaan setelah mendapatkan pangkat Letnan Jenderal Kehormatan. “Jadi Pak Soerjadi Soedirdja itu pangkatnya Jenderal Har Hor,” kata Letjen TNI Purn. Sjafrie Sjamsoeddin saat masih menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan.

Kisah Abdullah Mahmud Hendropriyono yang memakai bintang empat pasangan sendiri ketika Presiden BJ Habibie akan mengumumkan kabinetnya pada 22 Mei 1998 juga menjadi cerita yang sangat menarik. Semula, atas saran Sintong Pandjaitan, Hendro-lah yang akan diplot menjadi Panglima ABRI. Namun, belakangan Habibie mengubah keputusannya, setelah Jenderal Wiranto menemuinya, dan menunjukkan Surat Perintah Presiden Soeharto yang belum dilaksanakannya. Karena tak sempat diberi tahu perkembangan terakhir, Hendro datang ke Istana dengan bintang empat. Ketika ternyata yang diumumkan sebagai Panglima TNI adalah Jenderal Wiranto, Hendro pun segera mundur dan ganti baju karena ternyata diangkat kembali menjadi Menteri Transmigrasi.

Enam tahun kemudian, menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Kepala Badan Intelijen Negara, barulah Hendro mendapatkan pangkat Jenderal Kehormatan. Bersama dengan Hendro, Presiden Megawati Soekarnoputri juga memberikan pangkat kepada Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menjadi Jenderal Kehormatan. Dua-duanya sudah pensiun ketika mendapatkan bintang empat. Karena itu pemberian pangkat Jenderal Kehormatan kepada Hendro dan Hari itu menuai kritik dari internal TNI.

Melihat berbagai kasus pemberian pangkat kehormatan yang berbuansa politis itu sebaiknya para pendukung Presiden Jokowi tidak usah menjerumuskan Presiden lagi. Pengangkatan Presiden Jokowi sebagai warga kehormatan berbagai satuan dan matra TNI adalah sebuah kecelakaan yang tak perlu diulang. Biarkan Presiden Jokowi tetap menjadi warga sipil, toh dia tetap memegang kekuasaan tertinggi di seluruh matra TNI. Usul memberikan bintang lima kepada Presiden Sipil justru akan membuat Presiden Jokowi menjadi bahan lelucon di seluruh negeri. Presiden Jokowi tentu juga tidak perlu mengikuti gaya Presiden Soekarno yang membuat bintang sendiri untuk disematkan di pundaknya.

Sebaiknya Presiden Jokowi belajar dari Pemimpin Jerman, Adolf Hitler. Adolf Hilter adalah veteran Perang Dunia I dengan pangkat Kopral. Hitler kemudian keluar dari dinas kemiliteran, dan mendirikan partai National Sozializmus. Hitler akhirnya meraih kekuasaan tertinggi di Jerman, dan diangkat menjadi Kanselir setelah Nazi menang besar di tahun 1933. Dia pun diangkat menjadi Fuhrer, Diktator Jerman. Hitler tidak pernah meminta pangkat Reichsfuhrer --setingkat Jenderal Besar, Field Marshal ataupun General of The Army--. Tapi dengan percaya diri Hitler memimpin para Jenderal jago perang Jerman seperti Panglima Luftwaffe Jerman Marshal Herman Goering yang juga jagoan ace pahlawan Perang Dunia I, Jenderal Erwin Romell, pahlawan perang Afrika, Reichsfuhrer Heinrich Himmler yang jago rekayasa, dan sebagainya.


Ditulis oleh Hanibal W Y Wijayanta, Wartawan Senior, Jakarta

Anda memiliki artikel atau foto menarik? Silakan kirim ke email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak