Misi pemerintah untuk mewujudkan Jakarta Smart City semakin mendekati kenyataan, khususnya dalam sisi pengelolaan transportasi. Hal ini terlihat dengan dibentuknya kerja sama antara PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), dengan PT Moda Raya Terpadu Jakarta (PT MRT Jakarta).
Bentuk kerja sama yang dipilih adalah Joint Ventura dengan nama PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek, yang kesepakatannya dituangkan dalam Head of Agreement (HoA) dan ditandatangani oleh Edi Sukmoro selaku Direktur Utama PT KAI dan William Sabandar selaku Direktur utama PT MRT, pada tanggal 9 Desember 2019 di Balairung Balai Kota Provinsi DKI Jakarta, dan diresmikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada tanggal 10 Januari 2020 di Kementerian BUMN.
Struktur kepemilikan modal dalam PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek dikuasai oleh PT MRT Jakarta sebesar 51 persen, dan oleh PT KAI sebesar 49 persen. Adapun tiga tugas utamanya adalah Integrasi antar moda transportasi terutama berbasis rel, pengembangan Kawasan Transit Oriented Development (TOD), serta penataan simpul transportasi. Penataan tahap awal direncanakan dilakukan di stasiun KRL Tanah Abang, Juanda, Pasar Senen, dan Sudirman pada awal tahun 2020, dan akan menyusul untuk 68 stasiun lainnya.
Tujuan utama pengintegrasian adalah mengurangi angka kemacetan di Jakarta yang disebabkan oleh tingginya load kendaraan pribadi di jalan raya. Penelitian Bappenas dan Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2017 menyatakan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan Jakarta diprediksi mencapai Rp65 triliun pada tahun 2020, yang terdiri dari biaya waktu yang terbuang atau opportunity cost sebesar Rp36,9 triliun dan biaya operasi kendaraan sebesar Rp28,1 Triliun.
Pengguna kendaraan pribadi enggan menggunakan transportasi umum dengan alasan sulit memprediksi waktu keberangkatan, rute perjalanan yang tidak sesuai tujuan, ketidaknyamanan yang mungkin saja dialami seperti panas, kotor, bahkan rawan tindakan kriminal.
Oleh karena itu, langkah awal yang telah dilakukan pemerintah adalah menghadirkan kendaraan umum yang lebih tepat waktu, aman, nyaman, bahkan ramah disabilitas berupa KRL, Bus Trans Jakarta, MRT, hingga moda transportasi terbaru LRT. Langkah berikutnya adalah menghubungkan sistem transportasi yang telah ada sebelumnya. Dengan hal ini masyarakat diharapkan lebih memilih menggunakan transportasi publik, daripada kendaraan pribadi.
Integrasi yang dilakukan bukan hanya berdasarkan sistem dan rute saja, tetapi juga penataan kawasan sekitar stasiun, dan pengintegrasian ticketing. sistem ticketing yang terintegrasi juga akan berdampak pada efisiensi belanja subsidi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat melalui PT KAI untuk KRL dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk MRT, LRT, dan Trans Jakarta.
Penghematan APBN dan APBD dapat dialihkan kepada program lain yang mendukung pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, integrasi juga memiliki dampak yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai berikut:
Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, disebabkan oleh kemudahan akses dan ketepatan waktu, terutama kehadiran perkantoran, usaha cafe dan rumah makan. Selain itu terdapat rencana pembangunan residensial untuk karyawan, di kawasan stasiun yang ketersediaan lahannya masih memungkinkan. Tempat tinggal yang dekat dengan stasiun menjadikan mobilitas masyarakat semakin tinggi, sehingga terdapat lebih banyak waktu untuk bekerja secara produktif ataupun berkumpul bersama keluarga tercinta.
Selain itu pengaturan kawasan sekitar stasiun nantinya akan menjadikan Jakarta sebagai kota yang ramah pejalan kaki, memiliki taman dan ruang hijau yang dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga kualitas udara lebih baik, masyarakat lebih sehat, dan banyak ruang untuk melakukan aktivitas yang bersifat rekreatif.
Selain efek positif di atas, pengintegrasian tentu saja akan menimbulkan efek negatif berupa pengorbanan diawal yang harus dibayar oleh masyarakat sekitar, akibat pembangunan fasilitas, terutama berkaitan dengan pengelolaan kawasan sekitar stasiun. sebagai contoh kemacetan karena penyempitan jalan yang digunakan untuk penataan, bertambahnya polusi udara dan polusi suara, dan lain sebagainya. Akan tetapi, efek ini bersifat jangka pendek dan segera berganti dengan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Selain kerja sama MRT dan KRL, pengintegrasian juga sudah mulai tampak pada beberapa moda transportasi lain. Sebagai contoh integrasi KRL dengan Kereta Api Bandara, Integrasi beberapa Halte bus Trans Jakarta dengan stasiun KRL, bahkan dengan angkutan kota (angkot) yang sudah direvitalisasi oleh Pemerintah Kota Jakarta.
Pada intinya, hal-hal di atas adalah usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memberikan segala fasilitas dan kemudahan, khususnya bagi warga kota Jakarta. Diharapkan pula, Jakarta dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam penataan dan pengelolaan transportasi publik.