Ketidakadilan selalu kita jumpai disetiap sendi-sendi kehidupan bangsa. Bullying merupakan kejahatan yang saat ini marak ditemui di lembaga pendidikan formal kita, khususnya sekolah. Ditinjau dalam perspektif apa pun, fenomena bullying sangat tidak manusiawi, karena bullying merupakan tindakan yang dilandasi oleh mental penjajah.
Wajar sebagai bangsa beradab, kita berharap generasi muda Indonesia memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi, sehingga wajib hukumnya untuk menolak keras fenomena bullying di dunia pendidikan kita.
Pendidikan Tanpa Bullying
Kasus Bullying terbaru, yang terjadi di Malang dan Purworejo seakan menambah catatan negatif kondisi pendidikan kita yang masih jauh dari konsep pendidikan yang humanis. Fenomena tersebut menegaskan terjadi ketimpangan yang besar antara tujuan pendidikan nasional dengan praktik pendidikan di lapangan.
Tidak perlu kita saling menyalahkan, tetapi renungkanlah mengapa setelah lebih dari 75 tahun merdeka, bangsa ini belum mampu mewujudkan performa pendidikan yang sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional.
Pendidikan merupakan proses investasi negara kepada warganya, sebagai ikhtiar dalam mewujudkan negara yang maju. Faktanya dalam mengelola pendidikan selalu terdapat kendala yang mengakibatkan output dari tujuan maupun kebijakan pendidikan selalu tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Pada konteks bullying pihak yang pasti pertama kali diminta pertanggung jawabannya adalah guru terlebih pengelola sekolah, wajar karena merekalah yang dimandatkan dalam melaksanakan proses pendidikan, pengajaran dan pembelajaran di lapangan.
Sungguh kompleks tugasmu guru, hasil kerja kerasmu minim apresiasi, sedikit kesalahanmu marak yang mencaci. Bullying di persekolahan merupakan peristiwa yang harus kita atasi, karena sangat berdampak bagi keberlangsungan hidup korban, khususnya peserta didik yang selalu menjadi objek bullying oleh oknum teman sebayanya. Pada umumnya Bullying merupakan kejahatan yang berbentuk deskriminatif, ancaman bahkan penindasan baik secara fisik, verbal, maupun sosial.
Diperlukan strategi jitu dalam mengatasi maraknya kasus bullying di sekolah, karena pendidikan merupakan usaha sadar, terencana dan dilakukan bersama, maka kolaborasi yang efektif menjadi jawaban dalam permasalahan tersebut. Peranan konkrit baik secara ideal maupun empiris bisa dilaksanakan oleh pihak yang terkait, menurut penulis, sebagai berikut:
A. Pengelola Sekolah dan Guru
Sebagai garda terdepan dalam mewujudkan tujuan pendidikan, tentu guru memiliki peranan vital dalam membentuk karakter peserta didik yang pancasilais. Dalam konteks mengatasi fenomena bullying tentu guru harus memiliki skema yang jelas dalam mengoptimalkan perannya sebagai orang tua peserta didik di sekolah, mediator bahkan fasilitator.
Guru mengajarkan teori dan memberikan teladan terpuji agar diadopsi peserta didik sehingga menjadi habituasi untuk berperilaku sehari-hari. Terlebih guru yang diberikan tanggung jawab lebih sebagai pengelola sekolah tentu harus memiliki program unggulan dalam meminimalisir terjadinya bullying dipraktik pendidikan kita.
Perencanaan dan pelaksanaan program unggulan dalam menginternalisasilan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan kepada peserta didik merupakan alternatif solusi yang bisa direalisasikan oleh pengelola sekolah. Program tersebut bisa dielaborasikan melalui pembelajaran yang berbasis kontekstual, serta kegiatan sekolah baik yang ekstrakurikuler maupun yang bukan esktrakurikuler.
Guru yang diberikan tanggung jawab lebih perlu memberikan reward kepada peserta didik yang berprestasi, sebagai sarana pemacu peserta didik untuk lebih mengembangkan dirinya. Serta perlu memberikan funishmen kepada peserta didik yang melanggar peraturan sekolah, agar memberikan efek jera.
Komitmen guru dalam menjalankan tugasnya sebagai profesi yang mencerdaskan kehidupan bangsa baik secara spiritual, intelektual maupun emosional menjadi kunci dalam mengatasi kasus bullying. Memang berat tugas seorang guru banyak dituntut, fakir diapresasi, sedikit alpa banyak dicaci.
B. Pemerintah Daerah
Dikabulkannya tuntutan reformasi yaitu otonomi daerah, sehingga melahirkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengakibatkan pemerintah daerah memiliki peran sentral dalam mengelola pendidikan.
Dalam konteks mengoptimalkan perannya sebagai pembuat kebijakan pendidikan, tentu Pemerintah Daerah harus memiliki standar prosedur yang jelas, baik pada fungsi pembinaan maupun pengawasan. Terutama dalam ikhtiarnya mewujudkan sekolah yang humanis, terbebas dari kejahatan bullying.
Setidaknya peran dan kehadiran mereka terasa oleh pihak guru selaku garda terdepan dalam proses pendidikan. Pemerintah Daerah perlu memberikan apresiasi kepada guru yang berprestasi sebagai pemacu dalam meningkatkan performanya sebagai pengajar.
Faktanya nilai anggaran pendidikan yang dikirim ke daerah selalu fantastis, bahkan melebihi anggaran pendidikan pusat. Tetapi dalam mengefektifkannya agar memiliki nilai kebermanfaatan yang tinggi, selalu menjadi problematika klasik bangsa ini.
Walau pun jelas Pemerintah Daerah memiliki fungsi sebagai komando dalam kebijakan pendidikan, tetapi secara etik mereka memiliki fungsi sebagai mitra guru dalam mewujudkan pendidikan yang humanistik. Sehingga peran pemerintah daerah, tidak hanya secara sekilas menambah beban guru pada ranah administratif, tetapi mempermudah tugas guru melalui peran nyatanya di dunia pendidikan.
C. Keluarga dan Masyarakat
Sebagai lingkungan paling efektif dalam penanaman karakter, keluarga memiliki peran signifikan sebagai mitra dalam mewujudkan pendidikan yang bebas bullying. Dalam membentuk modal dasar untuk anak-anaknya berkarier kelak. Keluarga perlu mengajarkan bagaimana cara untuk beribadah, menghargai, menolong, bertanggung jawab, jujur dan karakter lainnya.
Komunikasi yang intens dengan pihak sekolah, serta pembinaan dan pengawasan yang baik, mampu membentuk pribadi siswa yang terpuji. Maka dari itulah mendidik anak pada zaman modern saat ini harus jauh dari “tindakan kekerasan dan intimidasi”. Rasionalnya “bagaimana akan membentuk sekolah yang bebas bullying apabila keluarga menjadi aktor utama kekerasan dalam pendidikan.
Konsep pendidikan yang maha luas mengakibatkan peserta didik tidak hanya belajar di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan masyarakat sekitar. Pada tempat tersebut mereka diajarkan baik langsung maupun tidak langsung untuk berpartisipasi dalam kepentingan umum, sebagai investasi membentuk warga negara yang cerdas dan baik.
Maka perlu komitmen dari masyarakat dalam mewujudkan lingkungan yang ramah anak, sehingga anak mendapatkan rasa aman dan nyaman, bahkan lingkungan tersebut menjadi laboratorium anak untuk berkembang.
Melaksanakan komunikasi dengan pihak sekolah secara berkala perlu dilakukan, agar meminimalisir terjadinya kejahatan kepada peserta didik, karena lingkungan yang tertib dan nyaman sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian terpuji peserta didik.
Memaknai Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bagaimana proses dan dinamika pendidikan mengakomodir nilai-nilai tersebut, serta dikolaborasikan dengan perkembangan zaman, masih menjadi kajian filosofis ahli dan aktivis pendidikan sampai saat ini.
Merencanakan tujuan pendidikan tanpa dilandasi ikhtiar dalam memperkuat jati diri bangsa, suatu saat akan menimbulkan masalah krisis identitas, tentu bangsa ini memiliki orientasi dalam membentuk sumber daya manusia yang berkarakter, berdaya saing dan unggul. Tetapi hanya fatamorgana apabila lingkungan pendidikannya tidak merepresentasikan lingkungan yang mampu mengoptimalkan peserta didik untuk berkembang.
Sekolah idealnya harus menjadi tempat yang nyaman, aman dan menggembirakan, sehingga anak bisa belajar dan berkembang tanpa adanya intimidasi dari oknum mana pun. Bullying merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat mengkhawatirkan, tidak ada dampak positif apa pun yang didapatkan dari kejahatan tersebut. Faktanya bullying merupakan peristiwa yang berusaha untuk mengklaim siapa yang kuat siapa yang lemah.
Pendidikan Indonesia harus mulai mengarah pada nilai-nilai yang humanistik. Memaknai tujuan pendidikan nasional tidak cukup dengan berpikir secara filsafat dan mengkritisi isi tujuannya, tetapi juga memaknainya dengan memperhatikan bentuk pelaksanaannya, serta bagaimana hambatannya di lapangan. Terlebih bullying yang mengancam kondisi psikologis dan keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa.
Oleh: Agil Nanggala / Mahasiswa S2 PKn SPs UPI