Kebijakan Desentralisasi yang Berbelit Berakibat Pada Korupsi

Tri Apriyani
Kebijakan Desentralisasi yang Berbelit Berakibat Pada Korupsi
Ilustrasi korupsi di sekolah. (shutterstock)

Indonesia merupakan sebuah Negara yang menganut sistem Negara kesatuan. Untuk menyatukan berbagai pulau di Indonesia maka di adakan sebuah desentralisasi agar pemerintah di daerah daerah yang dipisahkan oleh berbagai bentang alam dapat di jadikan satu dalam sebuah kerangka pembangunan. 

Ini dapat memperkuat daerah dalam mengurus dan menagtur daerahnya sesuai dengan potensi yang ada agar tercipta daerah yang berkemajuan mandiri dan sejahtera

Desentralisasi sendiri merupakan penyerahan Kekuasaan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Pengertian ini sesuai dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2014.

Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan.

Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.

Perubahan paradigm pemerintahan di Indonesia yang diakibatkan oleh desentralisasi adalah munculnya kebijakan-kebijakan baru dan perubahan peraturan perundang-undangan yang cukup menguras pelaksanaan kebijakan sebelumnya sehingga banyak bermunculan pemimpin daerah yang tidak memahami kebijakan tersebut dan penerapannya pun tergolong asal-asalan tanpa memperhitungkan keinginan masyarakatnya tentang pemaangunan daerah.

Perubahan peraturan jug kadang kurang di mengerti oleh pemerintah daerah sebgai pelaksananya. Pemberian wewenang kepada daerah juga perlu di perhatikan agar tidak terjadi kesalah fahaman dalam melaksanakan desentralisasi di daerah yang dimentori oleh pemerintah pusat sebagai pemberi kewenangan.

Perubahan kebijakan juga berakibat pada pemeberian pelayanan kepada masyarakat. Penyesuaian program kerja dan visi misi pemerintah daerah juga akan mengalami gejolak perubahan atau penyesuaian dengan kebijakan baru.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah para pimpinan daerah agar mengkaji ulang kebijakan dan program kerja yanga akan dijalankan. Pemerintah juga harus mengupayakan sebuah kebijakan yang tidak berbelit-belit yang berakibat pada kecelakaan pelaksanaan anggran seperti korupsi dan investasi bodong.

Adapun Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar terlihat pertimbangan-pertimbangan yang diajukan para pendiri Republik bahwa mereka sepakat melaksanakan kebijakan desentralisasi.

Dari mulai Indonesia merdeka hingga kini, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan terakhir dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Beberapakali perubahan undang-undang ini berakibat pada pengimplementasiannya yang di daerah karena daerah harus menyesuaikan kembali dengan peraturan baru serta visi misi dan rencanan pemabngunan daerah jangka pendek samapi jangka panjang. Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi daerah.

Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya, terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan masyarakat.

Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom.

Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif (peradilan).

Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah daerah atau semuanya diserahkan kepada daerah.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.

Kedua, urusan yang bersifat konkuren atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini  diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa.

Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan  masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur.

Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005.

Melalui pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD.   

Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.

Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances di samping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktik KKN.

Oleh: Zendita Alvion / Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak